Neraca negara harusnya tidak hanya mencatat utang untuk keperluan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tetapi juga mencatatkan utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Ini yang sering disebut sebagai utang bersyarat atau contigency debt, karena seringkali utang BUMN yang bermasalah akan menjadi beban APBN. Adapun dalam hal ini penjaminan pemerintah maksimal 6 persen sebagai contigency debt.
“BUMN adalah milik negara 100 persen atau kurang sesuai gradasi kepemilikan sahamnya sehingga risiko di APBN ketika BUMN mempunyai permasalahan soal going concern. Karena ketika kebijakan soal BUMN bermasalah mekanisme PMN lewat belanja di APBN menjadi solusinya,” kata anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun dalam siaran persnya dikutip Senin, 30 Januari 2023.
Mukhamad Misbakhun memberi contoh kasus Garuda Indonesia yang bermasalah karena pembayaran leasing pesawat yang berujung pada Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Dalam kasus tersebut, negara turun langsung menanganinya melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) yang menggunakan mekanisme belanja di APBN.
Sudah sangat jelas bahwa masalah keuangan di BUMN akan langsung berisiko juga kepada negara. Ketika BUMN bermasalah, mekanisme penyelamatannya melalui kebijakan negara lewat PMN di APBN. Diketahui, dana APBN sebagian berasal dari uang pajak, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan penerbitan utang.
“BUMN sebagai state own company, korporasi yang sahamnya dimiliki oleh negara 100 persen, ada yang kurang dari 100 persen, ada dengan kepemilikan minoritas tapi dengan mekanisme hak eksklusif dengan istilah saham merah putih, minority shareholder with extra right put option,” jelas dia.
Contoh lain, kasus Karaha Bodas, sebuah proyek PLTU milik Pertamina joint venture dengan perusahaan Amerika Serikat yang gagal dikerjakan sehingga berdampak gugatan pada abitrase international dan gugatannya itu ke Pertamina dan GoI (Government of Indonesia) sebagai pemegang saham.
Ketika kalah dalam gugatan dan ada kompensasi denda dalam amar putusannya disebutkan, apabila putusan denda tidak di bayar maka seluruh aset milik Pertamina dan milik pemerintah Indonesia sebagai jaminan untuk disita oleh otoritas hukum di Amerika Serikat. Berikutnya kasus bail-in atas Jiwasraya sebesar Rp20 triliun melalui mekanisme PMN di Induk usaha IFG Life yang baru dibentuk.
“Apakah ini memperhatikan aspek contigency debt 6 persen sesuai aturan itu? Buktinya 100 persen ditalangi oleh negara lewat PMN dan mekanisme belanja di APBN tahun berjalan,” ujarnya.
Oleh karena itu, dengan menggunakan mekanisme kebijakan belanja di APBN menjadi bukti nyata bahwa contigency debt yang selama ini dibukukan terpisah di BUMN, harus menjadi bagian utang yang diakui dan dicatat oleh negara.
Tak kalah penting, yang harus dicatatkan sebagai utang dalam neraca negara adalah utang dana pensiun para Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI-Polri, dan jaminan pensiun yang ditanggung negara lainnya dalam perhitungan aktuaria sesuai masa manfaat dan jatuh temponya.
Praktik mencatatkan semua tiga komponen utang pada neraca itu, adalah praktek lazim di negara demokrasi yang maju seperti Amerika, Jepang, Kanada, Negara Eropa, Australia.
“Makanya negara-negara tersebut ratio utang mereka dari total PDB mencapai hampir 100 persen, ada yang di atas 100 persen bahkan ada yang mendekati 200 persen,” ujarnya.
Indonesia tercatat memiliki ratio utang pada kisaran hanya 41 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB). Angka itu hanya utang dari pembiayaan untuk keperluan di APBN sedangkan contigency debt (utang dalam buku BUMN) belum masuk buku dan utang kewajiban pada dana pensiun juga belum masuk dalam buku neraca negara pada sisi kewajiban atau utang.
“Ini persoalan pencatatan utang, karena di dalam utang itu ada risiko kewajiban membayar utang. Baik bunga utang, pokok utang maupun biaya administrasi penerbitan utang berikut risiko denda akibat gagal bayar,” tegas dia.