Tren dana asing angkat kaki dari Indonesia terus berlanjut, khususnya di pasar surat utang. Ke mana dananya mengalir?

Koridor.co.id

Kondisi pasar keuangan Tanah Air sedang tidak baik-baik saja. Dana asing mengalir deras keluar dari Indonesia. Bahkan, nilai dana asing yang angkat kaki dari Indonesia jumlahnya fantastis.

Selama sembilan bulan atau periode Januari hingga September 2022, dana asing yang keluar setiap pekannya sekitar Rp500 miliar. Investor asing banyak meninggalkan portofolio investasinya pada surat berharga negara (SBN). Total kepemilikan asing di SBN yang keluar setiap minggu sekitar Rp2,3 triliun. Jika diakumulasikan dana asing yang keluar dari SBN mencapai Rp88,1 triliun.

Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan saham yang masih diminati, karena pada periode yang sama, justru ada tambahan dana asing yang masuk (net buy) Rp67,6 triliun. Dengan asumsi dana tersebut pindahan dari hasil lepas SBN, bersihnya masih tersisa Rp500 miliar per minggu yang hengkang dari pasar keuangan Indonesia.

Keluarnya dana asing dari pasar obligasi pemerintah juga dibenarkan oleh Direktur Panin Asset Management, Rudiyanto. Ia mengatakan, sejak awal tahun pasar obligasi pemerintah terus mengalami aksi jual bersih asing (net sell). Aksi ini sebagai antisipasi kenaikan suku bunga acuan di seluruh dunia.

“Pasar obligasi memang aksi net sell dari awal tahun itu karena antisipasi kenaikan suku bunga,” kata Rudiyanto saat dihubungi Koridor.co.id baru-baru ini.

Kenaikan suku bunga acuan tersebut berimbas pada kenaikan imbal hasil di pasar obligasi pemerintah. Misalnya pada surat utang tenor 10 tahun. Jika dilihat pada akhir Agustus 2022, posisi imbal hasilnya sebesar 7,1 persen. Lantas pada akhir September 2022 menjadi 7,4 persen. Begitu juga pada obligasi bertenor pendek. Untuk imbal hasil tenor 3 bulan per akhir Agustus 2022 sebesar 2,4 persen menjadi 4,5 persen pada akhir September.

Kendati demikian menurut Rudiyanto, kenaikan imbal hasil ini merupakan hal yang wajar terjadi ketika merespons kenaikan suku bunga acuan.

“Kalau misalnya bunga deposito jangka pendek naik, orang kalau beli surat utang negara yang 10 tahun pasti minta imbal hasilnya juga naik. Itu fenomena normal. Jadi tidak perlu panik,” kata Rudyanto.

Ia mengatakan, pemerintah melakukan lelang obligasi sesuai permintaan pasar dan kebutuhan pemerintah sendiri. Lalu, ketika investor menyerapnya tentu akan meminta yield tinggi. Sehingga bukan pemerintah yang menawarkan yield tinggi.

Adapun, kenaikan imbal hasil akan membuat harga obligasi turun. Namun penurunan harga obligasi, mampu ditahan oleh masuknya investor lokal dan data inflasi di dalam negeri yang masih lebih bagus dibandingkan negara lain. Bahkan kata Rudiyanto, penurunan harga obligasi pemerintah masih lebih rendah dibandingkan negara maju.

Ia pun yakin pasar obligasi akan berbalik arah menguat. Saat ini pasar masih menunggu data inflasi Amerika Serikat (AS). Apabila inflasi AS menunjukkan tanda-tanda terkendali dan turun maka harga obligasi bisa rebound lebih cepat.

Sementara sentimen dari dalam negeri, terkait inflasi dan kebijakan suku bunga selanjutnya. Rudi memproyeksikan suku bunga acuan dalam negeri masih berpeluang naik sekitar 50-75 bps (0,50-0,75 persen – red).

“Itu akan berpengaruh kepada pasar obligasi. Makanya yield obligasi terus naik dan harganya turun,” ujarnya.

Artikel Terkait

Terkini