asar farmasi dalam negeri cukup besar seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan ekonomi. Hal ini mendorong terjadinya peningkatan volume konsumsi obat. Di tengah tingginya permintaan (demand) atas farmasi tersebut, namun sayangnya pasokan (supply) bahan baku dari negeri sendiri tidak mampu memenuhinya.
Tercermin dari impor produk farmasi yang terus meningkat tiap tahun. Ini menandakan ketergantungan Indonesia terhadap impor sangat tinggi. Bahkan selama periode 2019 sampai 2022 neraca dagang impor farmasi terus bergerak naik.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Koridor, pada 2019, impor produk farmasi sebesar US$912 juta dan meningkat menjadi US$1,51 miliar pada 2022. Nilai impor produk farmasi hampir dua kali lipat ekspor produk farmasi Tanah Air.
Ekspor produk farmasi pada 2019 mencapai US$556 juta menjadi US$644 juta pada 2022. Dengan demikian neraca produk farmasi juga ikut meningkat dari US$356 juta pada 2019 menjadi US$868 juta pada 2021.
Begitupula dengan total barang ekspor. Pada 2019, total barang impor mencapai US$171,27 miliar menjadi US$237,44 miliar pada 2022. Kemudian ekspor barang sebesar US$167,68 miliar pada 2019 menjadi US$291,97 miliar pada 2022. Lantas neraca barang tercatat US$3,59 miliar pada 2019 membengkak menjadi US$54,53 miliar pada 2022. Sangat jelas terlihat importasi farmasi merajai pasar dalam negeri.
Untuk nilai impor farmasi negara asal selama 2019 sampai 2023 mencapai US$8,04 miliar. Ada 10 negara teratas yang menjadi sumber utama bahan baku farmasi ke Tanah Air, yakni China, Amerika Serikat, Jerman, India, Belgia, Spanyol, Prancis, Inggris, Jepang, Puerto Riko, dan lainnya.
Nilai impor bahan baku paling besar dari China sebesar US$2,58 miliar, Amerika Serikat US$910 juta, Jerman US$477 juta, India US$438 juta, dan Belgia US$399 juta.
Selanjutnya, Spanyol US$371 juta, Prancis US$339 juta, Inggris US$280 juta, Jepang US$226 juta, Puerto Riko US$214 juta, dan lainnya US$1,8 miliar.