Di tengah kritik Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terhadap rendahnya serapan anggaran pemerintah daerah, ternyata hal yang sama juga terjadi pdi pemerintah pusat. Hingga akhir kuartal III-2022 serapan anggaran pemerintah pusat belum maksimal dan masih di bawah 60 persen.
Dalam realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) per 30 September 2022, serapan belanja pemerintah pusat persisnya baru 59,1 persen. Jumlah tersebut setara dengan Rp1.361 triliun. Realisasi belanja pemerintah pusat terdiri atas belanja Kementerian/Lembaga (K/L) dan belanja Non K/L.
Untuk belanja K/L, pemerintah pusat telah menghabiskan anggaran sekitar Rp674 triliun atau 71,3 persen dari total anggaran Rp946 triliun. Sementara belanja Non K/L telah mencapai 50,7 persen atau Rp687 triliun dari anggaran Rp1.356 triliun.
Serapan anggaran pemerintah pusat pada periode tersebut masih lebih rendah dibandingkan 30 September 2021. Pada periode sama tahun lalu, serapan anggaran pemerintah pusat sudah mencapai 64,7 persen atau sebesar Rp1.265 triliun dari APBN Rp1.955 triliun.
Belanja K/L pada periode sama 2021 tercatat Rp734 triliun atau mencapai 71,1 persen dari anggaran sebesar Rp1.032 triliun. Sementara belanja Non K/L sebesar Rp531,4 triliun atau 57,6 persen dari anggaran Rp923 triliun.
Masih rendahnya serapan anggaran pemerintah pusat tentu menyisakan pertanyaan besar. Apalagi pada saat yang sama pemerintah pusat masih mengantongi surplus anggaran sebesar Rp61 triliun.
Di tengah kelebihan anggaran tersebut, pemerintah pusat masih rajin melakukan pembiayaan anggaran. Pada akhir September kemarin, pembiayaan anggaran pemerintah mencapai Rp430 triliun. Pembiayaan anggaran ini berasal dari utang baik berupa Surat Berharga Negara (SBN) konvensional maupun Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Rajinnya pemerintah melakukan lelang surat utang, membuat pemerintah memiliki kelebihan anggaran sekitar Rp491 triliun. Jumlah ini pun masih lebih besar dari tahun lalu yang Rp170 triliun. Tentunya kondisi ini berbeda jauh dengan periode sama tahun lalu yang defisit.
Di tengah rendahnya penyerapan anggaran dan penerbitan surat utang yang terus berlanjut, boleh jadi kas pemerintah makin sesak. Dengan bahasa yang berbeda, Menteri Keuangan pun berteriak: ayo, segera habiskan anggaran. Namun pada saat bersamaan, subsidi untuk rakyat kian tipis.