Pemerintah telah menerbitkan Peratuan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja yang dirilis pemerintah pada 2022. Perppu Cipta Kerja tersebut dinilai menghasilkan berbagai substansi pasal yang dianggap bermasalah.
Center of Economic and Law Studies (Celios) pun merilis hasil kajian dan temuan terkait pemberlakuan Perppu Cipta Kerja tersebut. Salah satu bagian yang menimbulkan kekhawatiran atas dampak buruk bagi perekonomian, ketahanan energi dan lingkungan hidup adalah Paragraf 5 Pasal 128A berkaitan dengan perubahan iuran produksi atau royalti produk hilirisasi batu bara menjadi 0 persen.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, mengungkapkan kebijakan royalti hilirisasi batu bara sebesar 0 persen dalam Perppu Cipta Kerja akan memicu kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp33,8 triliun.
“Berdasarkan perhitungan Celios apabila insentif ini diberlakukan dapat memicu terjadinya kerugian bagi negara yang cukup besar. Dengan asumsi total produksi batu bara sebesar 666,6 juta ton per tahun, potensi kehilangan royalti ditaksir mencapai Rp33,8 triliun per tahunnya,” kata Brima dalam diskusi daring, Rabu (1/2/2023).
Kata Bhima, jika kebijakan tersebut berlaku dalam 20 tahun ke depan, diperkirakan negara akan mengalami kerugian hingga Rp676,4 triliun. Padahal dengan nilai tersebut, pemerintah bisa membangun banyak sekolah dan rumah sakit.
“Potensi kerugian tersebut setara membangun 305.632 sekolah dan 4.039 rumah sakit. Implementasi Perppu Cipta Kerja harus secara tegas dibatalkan,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Peneliti Hukum Celios, Muhammad Saleh, mengatakan Perppu Cipta Kerja tidak mendorong Indonesia menuju transisi energi karena beberapa alasan.
Pertama, Perppu tidak memiliki basis kajian lingkungan. Kedua, Perppu tidak mengadopsi prinsip atau asas pembangunan berkelanjutan. Ketiga, komitmen transisi energi hasil G20 Bali tidak diakomodasi dalam Politik Legislasi Perppu.
“Terakhir, Perppu melemahkan Kebijakan Transisi Energi berkeadilan Dalam RUU EBT yang tengah dibahas dalam bentuk memberi insentif bagi perusahaan batu bara untuk terus melakukan eksploitasi,” jelas Saleh.
Menurut Saleh, selain Pasal 128A tentang perubahan royalti 0 persen hilirisasi batu bara, terdapat berbagai pasal yang bermasalah, di antaranya Pasal 2 dan 3 Tidak Mengadopsi Prinsip Atau Asas Pembangunan Berkelanjutan; Pasal 38 ayat 3 mengatur pinjam pakai hutan untuk pertambangan yang tidak terkontrol dan sangat terpusat; Pasal 25 Pengurangan Keterlibatan Masyarakat dalam Penyusunan Amdal.
Pasal 24 Perubahan Konsep tentang Amdal yang hanya menjadi dasar Uji Kelayakan, bukan penentu keputusan; Pasal 162 Norma Represif Bagi Aktivis Tambang; Pasal 110A dan Pasal 110B Penghapusan Pelanggar izin berusaha di kawasan Hutan; Pasal 18 Dihapusnya kecukupan luas kawasan hutan minimal 30 persen; dan Pasal 92, Pasal 35 dan Pasal 292A Tidak ada insentif dan kemudahan untuk dunia usaha melakukan transisi EBT.
Berikut ini beberapa temuan menarik lainnya dari riset Kerugian dari Hilirisasi Batu bara dalam Perppu Cipta Kerja:
- Kehilangan royalti akibat kebijakan hilirisasi batu bara akan berdampak terhadap pelebaran defisit anggaran pada 2023. Sebelumya pemerintah telah menetapkan batas defisit di bawah 3 persen atau sebesar 2,84 persen setara Rp598,2 triliun. Target pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 berisiko meleset akibat pemberian insentif Perppu Cipta Kerja ke sektor batu bara. Kehilangan royalti yang seharusnya diterima pemerintah dari sektor batu bara akan menambah hingga 5,7 persen dari total defisit anggaran 2023.
- Penghematan dari kerugian negara sebesar Rp33,8 triliun dapat digunakan untuk membangun 15.281 sekolah dan 201 rumah sakit. Jika kehilangan royalti diakumulasi hingga 20 tahun maka pendapatan yang seharusnya diterima negara bisa dimanfaatkan untuk membangun 305.632 sekolah dan 4.039 rumah sakit.
- Perppu Cipta Kerja memberikan efek negatif terhadap transfer Dana Bagi Hasil (DBH) ke daerah penghasil Sumber Daya Alam (SDA). Padahal, 80 persen dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) royalti ditransfer ke daerah penghasil, baik level provinsi hingga kabupaten. Tercatat lebih dari 12 provinsi dan puluhan kabupaten masih menggantungkan pendapatan daerahnya dari DBH batu bara.
- Kebijakan royalti 0 persen hilirisasi batu bara bertentangan dengan upaya memberikan kompensasi SDA yang adil bagi daerah. Selain itu, kehilangan potensi DBH di tengah booming harga batu bara mengakibatkan dampak signifikan terhadap upaya pengurangan kemiskinan, stimulus pelaku usaha mikro, dan belanja mitigasi dampak kerusakan lingkungan di daerah penghasil SDA.
- Royalti 0 persen kepada pelaku usaha sektor batu bara yang melakukan pengembangan atau pemanfaatan batu bara akan mendorong terjadinya hilirisasi komoditas batu bara yang pada akhirnya akan memperpanjang kecanduan Indonesia kepada sumber energi fosil yang tidak ramah lingkungan.
- Klaim bahwa produk turunan batu bara atau Dimethyl Ether (DME) mampu menggantikan impor Liquefied Natural Gas (LNG) pun diragukan. Keekonomian DME jauh berada di bawah impor LNG. Hal ini menunjukkan adanya solusi palsu (false solution) dalam mendorong efisiensi energi di Indonesia.
- Hadirnya insentif royalti 0 persen bagi hilirisasi batu bara, membuat perbankan cenderung kembali melakukan penetrasi kredit ke sektor pertambangan batu bara dalam jangka panjang. Per November 2022, penyaluran kredit investasi di sektor pertambangan tumbuh 74,2 persen, sementara kredit modal kerja ke sektor pertambangan naik 31 persen secara tahunan. Situasi ini akan menimbulkan risiko pengurangan porsi penyaluran kredit pada sektor yang justru dibutuhkan untuk mempercepat transisi energi.