Pencucian uang koperasi hingga ratusan triliun, karena UU kurang mengakomodasi perkoperasian

Koridor.co.id

Kantor Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM). (Sumber foto: Vivi Octiasari / Shutterstock.com)

Kementerian Koperasi dan UKM memilliki jawaban atas karut marut dunia perkoperasian akhir-akhir ini. Termasuk soal adanya aliran transaksi sampai Rp500 triliun dari sejumlah koperasi ilegal. Apa yang terjadi tidak bisa dipisahkan dari UU Perkoperasian, yang tidak bisa mengakomodasi dinamika perkoperasian akhir-akhir ini.

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana mengungkapkan fakta mencengangkan tentang perputara an aliran transaksi koperasi simpan pinjam (KSP) ilegal yang mencapai Rp500 triliun. Nilai tersebut berasal dari 12 koperasi terhitung sejak 2020 hingga 2022. Jumlah fantastis tersebut separuhnya adalah transaksi Indosurya.

“Total yang kita temukan dalam hasil transaksi saja hampir Rp240 triiun, terkait satu kasus itu (Indosurya),” papar Ivan pertengahan Februari lalu.

Menurut Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM), Ahmad Zabadi, saat ini Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian masih dalam proses dan harmonisasi. RUU itu diharapkan rampung pada kuartal III-2023.

“Insya Allah Maret atau April 2023 kita sudah dapat menyerahkan ke DPR untuk dilakukan pembahasan. Nantinya, kita harapkan kuartal III, kita sudah memiliki UU Perkoperasian yang baru” ujar Ahmad dikutip Koridor, Rabu (22/2/2023). 

Soal perputaran uang yang fantastis itu, PPATK sudah melaporkan kepada penegak hukum dan tinggal menunggu kelanjutannya. Ahmad Zabadi meminta masyarakat menunggu hasil pengusutan, dan penanganan secara hukum.

Terkait angka Rp500 triliun pihaknya dan PPATK juga sepakat untuk melakukan joint audit. 

Ilustrasi.

Kondisi itu kata dia menjadi penting, sebab yang digambarkan dalam pemberitaan jauh dari kondisi riil koperasi di Indonesia. Misalnya terkait Indosurya. Potensi kerugian Indosurya yang digambarkan pemerintah adalah Rp106 triliun, sementara yang terungkap PPATK lebih dari itu. 

Indosurya merupakan grup perusahaan yang sudah hadir sebelum KSP Indosurya, yang berdiri sebagai sebuah perusahaan besar konglomerasi. KSP Indosurya berdiri tahun 2012 yang pada saat itu masih level provinsi. 

Kemudian pada 2014 mereka melakukan perubahan anggaran dasar menjadi koperasi level nasional. Namun di 2019 mereka diblokir pemerintah. Artinya kata Ahmad, dalam masa waktu kurang lebih lim  tahun dengan perputaran seperti yang digambarkan diperlukan klarifikasi. 

“Karena sesungguhnya kalau berdasarkan putusan pengadilan homologasi PKPU itu, kerugian Indosurya hanya Rp18,3 triliun,” kata dia.

Sementara itu berdasarkan konfirmasi dengan pihak PPATK, apa yang disampaikan adalah bukan potensi kerugian namun perputaran uang. Kerugian Indosurya dalam catatan pengadilan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sekitar Rp13,8 triliun namun Kejaksaan Agung kemudian merilis Rp16 triliun.

“Jadi jauh dari apa yang digambarkan dalam pemberitaan,” ujarnya.

Ahmad menyayangkan dalam pemberitaan tertulis nilai yang begitu fantastis. Ia meluruskan bahwa dari sebanyak 127 ribu koperasi, yang aktif memiliki aset tidak mencapai Rp500 triliun. 

Atas kondisi itu, pemerintah bersepakat dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk audit investigasi. Ahmad menekankan, paling penting adalah memaksimalkan perlindungan terhadap anggota dan masyarakat atau nasabah dari praktik-praktik menyimpang, ilegal, dan kejahatan keuangan yang dilakukan oleh beberapa entitas, termasuk yang berkedok koperasi.

Kasus Indosurya bagi Ahmad sudah cukup kontras. Mereka bank profesional namun bertentangan dengan prinsip-prinsip koperasi yang berbadan hukum koperasi. Oleh karenanya RUU Perkoperasian harus segera dituntaskan.

“Seperti halnya saat ini, kita bisa lihat dalam ekosistem perbankan ada LPS, OJK, KKSK, sehingga dari sisi benteng pengaman sudah berlapis-lapis. Bahkan kita kenal sebagai high regulated,” ujar Ahmad.

Artikel Terkait

Terkini