PT PLN (Persero) memperkirakan serapan dana Penyertaan Modal Negara (PMN) bisa mencapai Rp2,87 triliun hingga akhir tahun 2022. Jumlah ini setara dengan angka 57 persen dari total PMN yang diterima PLN sebesar Rp5 triliun.
“Prognosa penyerapan PMN pada akhir tahun 2022 senilai Rp2,87 triliun atau setara 57 persen. Selebihnya akan diserap pada tahun berikutnya,” kata Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR, Jakarta, Senin (28/11/2022).
Dana PMN sebesar Rp5 triliun tersebut sudah dikantongi 100 persen oleh PLN. Pencairannya pun terbagi dalam dua tahap, yakni pada 24 Oktober dan 27 Oktober 2022.
Alokasi penggunaan dana PMN antara lain untuk pembangkit energi baru terbarukan (EBT) meliputi pembangunan infrastruktur pembangkit dengan sumber daya setempat berupa PLTA dan PLTP sebesar Rp220 miliar.
Kemudian dana PMN dialokasikan untuk transmisi dan gardu induk sehingga menghubungkan kelistrikan di daerah-daerah terpencil sebesar Rp2,56 triliun. Selanjutnya untuk distribusi dan lisdes dengan menyambungkan pelanggan agar mendapatkan listrik berkeadilan dan mendukung pengembangan daerah pariwisata super prioritas sebesar Rp2,22 triliun.
“PMN digunakan untuk meningkatkan rasio elektrifikasi PLN. Di tahun 2021, RE PLN 97,26 persen dan dengan hadirnya PMN RE PLN meningkat menjadi 97,49 persen di Oktober 2022,” ujar Darmawan.
PLN pun akan terus meningkatkan rasio elektrifikasi menjadi 97,53 persen pada Desember 2022. Lantas meningkat lagi menjadi 97,81 persen di tahun 2023.
Berlanjut di tahun 2023, PLN mengajukan PMN sebesar Rp10 triliun. Alokasi penggunaan dana PMN masih sama seperti tahun 2022, antara lain untuk pembangkit EBT meliputi pembangunan infrastruktur pembangkitan dengan sumber daya setempat berupa PLTA, PLTS, PLTP, dan PLTM sebesar Rp1,74 triliun.
Selanjutnya, dana PMN dialokasikan untuk transmisi dan gardu induk sehingga menghubungkan kelistrikan di daerah-daerah terpencil sebesar Rp3,78 triliun. Berikutnya untuk distribusi dan lisdes dengan menyambungkan listrik ke pelanggan agar mendapatkan listrik berkeadilan sebesar Rp4,48 triliun.
Darmawan menegaskan, alokasi PMN difokuskan pada daerah terluar, terdepan, tertinggal (3T). PLN akan menghadirkan listrik untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan akan menciptakan multiplier effect melalui peningkatan penyerapan tenaga kerja, peningkatan kualitas pendidikan, peningkatan pelayanan sektor kesehatan, hasil produksi sektor industri, produktivitas sektor marine, dan produktivitas di sektor agrikultur.
Hingga kini masih terdapat 4.400 desa di wilayah tersebut yang belum menikmati listrik dari PLN. Namun demikian, ia mengakui bahwa biaya untuk pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan di daerah-daerah 3T membutuhkan biaya investasi cukup besar. Bahkan biayanya dapat mencapai Rp25-45 juta per pelanggan. Biaya ini jauh berbeda dibandingkan dengan rata-rata biaya pemasangan listrik pada umumnya di kisaran Rp1 juta sampai Rp2 juta per pelanggan.
“Kami mengakui bahwa untuk menyambung listrik di daerah yang normal itu sekitar Rp1 juta sampai Rp2 juta per pelanggan, sementara di daerah yang terpencil 3T membutuhkan investasi sangat tinggi yaitu sekitar Rp25 juta sampai Rp45 juta per pelanggannya disebabkan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan yang sangat masif dibandingkan konsentrasi penduduk yang tinggal di wilayah tersebut kelistrikan yang sangat masif,” jelas Darmawan.
Untuk itu pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan di daerah 3T tidak dilakukan secara komersial, karena tidak feasible atau layak. Namun pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan mengacu pada sila kelima Pancasila yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Mengacu pada sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak mungkin kita meninggalkan saudara-saudara kita yang 77 tahun sudah merdeka masih belum bisa menikmati keadilan dari kuenya pembangunan, untuk itu PMN adalah pengejawantahan dari semangat keadilan,” jelasnya.