PT PLN (Persero) menyatakan bahwa pandemi Covid-19 telah berdampak pada kelistrikan nasional. Hal ini membuat pasokan listrik mengalami kelebihan atau oversupply.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, mengungkapkan sistem kelistrikan Jawa-Bali sampai tahun 2019 masih dalam kondisi yang sangat ideal. Bahkan reserve margin atau cadangan listrik di tahun 2019 mencapai 32 persen.
Sementara itu pada 2020 terjadi peningkatan kapasitas pembangkit listrik dalam jumlah yang sangat besar, sedangkan permintaan atau demand listrik menurun drastis karena pandemi Covid-19.
Pada 2020, reserve margin mencapai 39,9 persen. Angka ini lantas turun pada 2021 menjadi 37 persen. Sedangkan pada 2022 diperkirakan naik lagi menjadi 56 persen.
“Sampai tahun 2019, balance antara pasokan dan demand itu dalam kondisi yang sangat ideal tetapi mulai di tahun 2020 ada Covid-19, demand menurun drastis,” kata Darmawan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR RI, Rabu (8/2/2023).
Di tengah kondisi oversupply tersebut, PLN juga dihadapkan dengan mulai beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara dari program 35.000 Mega Watt (MW). “Di saat bersamaan ada tambahan pasokan dalam jumlah yang sangat besar,” ujarnya.
Kendati demikian, perusahaan setrum pelat merah itu terus berupaya menekan beban biaya oversupply. Pihaknya pun berhasil mengurangi biaya Take or Pay (ToP) hingga lebih dari Rp40 triliun. Langkah yang dilakukan antara lain dengan mengurangi bahkan mengundur kontrak proyek sebagai upaya renegosiasi.
“Sebagian kita bisa batalkan, kita kurangi, kemudian kita undur, kontraknya kita kurangi, yang kita sebut dengan renegosiasi. Kami berhasil mengurangi beban Take or Pay Rp40 sekian triliun,” ujarnya.
Kelebihan pasokan listrik ini, disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya asumsi pertumbuhan ekonomi yang dijadikan acuan namun tidak sesuai prediksi awal. Menurut Darmawan, pertumbuhan listrik di Jawa pada tahun 2014-2015 diperkirakan sekitar 7-8 persen. Angka tersebut berbasis pada asumsi pertumbuhan ekonomi pada saat itu yang diperkirakan mencapai sekitar 6,1 persen.
Pada saat itu, terdapat korelasi antara pertumbuhan ekonomi dan permintaan listrik. Dimana ketika ada pertumbuhan ekonomi 1 persen maka pertumbuhan permintaan listrik diproyeksi mencapai 1,3 persen.
“Jadi pada saat pertumbuhan ekonomi berbasis e-commerce dan pariwisata, ternyata korelasinya bergeser bukan 1,3 persen tapi turun menjadi 0,86 persen atau 0,9 persen. Artinya pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dibarengi pertumbuhan demand listrik yang tinggi,” ujar Darmawan.
Namun demikian, menurut Darmawan apabila pertumbuhan ekonomi basisnya adalah industri, maka korelasinya, permintaan listrik akan naik. Sementara selama lima tahun belakangan ini, permintaan listrik di pulau Jawa korelasinya turun dari 1,3 persen menjadi 0,87 persen.
“Jadi kalau 1 persen pertumbuhan ekonomi maka pertumbuhan demand-nya hanya 0,86 persen. Kemudian pertumbuhan ekonomi terkoreksi dari 6,1 persen rata-rata menjadi 5,1 persen. Untuk itu selama 5 tahun, pertumbuhan demand listrik yang diproyeksikan sekitar 8 persen di Jawa tumbuhnya rata-rata hanya 4,6 persen selama 5 tahun 2015-2019,” kata dia.
Dengan menggunakan asumsi di tahun 2015, seharusnya konsumsi listrik saat ini adalah sebesar 380 terawatt hour (TWh). Sedangkan realisasi konsumsi listrik hingga saat ini baru mencapai 283 TWh.
“Jadi ada 100 TWh di bawah dari yang direncanakan. Itulah bahwa pada waktu itu apakah asumsinya itu sudah sesuai dengan harapan ternyata bergeser. Kemudian korelasi pertumbuhan demand listrik dengan pertumbuhan ekonomi bergeser,” kata dia.