Penyaluran kredit energi baru terbarukan masih terbilang rendah. Empat alasan ini jadi penyebabnya.

Koridor.co.id

Pembiayaan yang stabil sangat penting dalam mendukung keberlangsungan proyek energi baru terbarukan (EBT). Namun sayangnya, pendanaan dari sektor perbankan saat ini masih terbilang rendah sehingga memperlambat transisi energi terbarukan.

Menurut hasil riset Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam laporan terbarunya yang berjudul “Indonesia Sustainable Finance Outlook 2023”, sejak 2018, investasi EBT gagal mencapai tujuan tahunannya. Indonesia mengalami defisit pendanaan yang cukup besar dan belum dapat memenuhi 23 persen pangsa energi terbarukannya pada 2025.

Penyaluran kredit untuk energi terbarukan yang berasal dari empat bank besar nasional yakni BRI, Mandiri, BNI, dan BCA masih minim. Bahkan porsinya hanya berkisar 0,9 persen sampai 5,5 persen dari total portofolio berkelanjutan pada 2021. Misalnya BRI 0,9 persen, Mandiri 2,2 persen, BNI 6 persen, dan BCA 1,5 persen. Tentunya porsi pembiayaan ini perlu didorong untuk ditingkatkan lagi.

Kendati porsi pembiayaannya masih minim, namun nilai penyaluran kredit energi terbarukan, dalam tiga tahun terakhir selama periode 2018-2021, terus mengalami peningkatan. BNI misalnya, pada 2021 kredit yang disalurkan untuk EBT mencapai Rp9,5 triliun, lebih tinggi dari 2018 yang sekitar Rp3,8 triliun.

Selanjutnya ada BRI yang telah mengucurkan kredit sebesar Rp5,6 triliun pada 2021 dari sekitar Rp2,7 triliun pada 2018. Berikutnya, Bank Mandiri yang juga ikut menyalurkan kredit sebesar Rp4,2 triliun pada 2021 meningkat dari sebelumnya sekitar Rp1,7 triliun. Bank Mandiri membiayai satu pembangkit listrik tenaga mikro hidro yang dikembangkan oleh PT Kencana Energi Lestari dan skema pembiayaan Mandiri
untuk instalasi rumah solar PV bagi pelanggannya.

Kemudian BCA pada 2021 mengucurkan kredit energi terbarukan sebesar Rp2,3 triliun. Angka ini hampir sama dengan penyaluran kredit energi terbarukan pada 2018 sekitar Rp2,4 triliun. BCA secara finansial mendukung pembangunan pembangkit listrik tenaga surya, mini hidro, biomassa, dan pembangkit listrik tenaga biogas dengan total output hingga 35.000 MW di 2021.

Rendahnya penyaluran kredit perbankan tidak lepas dari beberapa hal. Ada empat alasan yang menyebabkan alokasi kredit perbankan masih rendah untuk proyek EBT.

Pertama, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.51/POJK.03/2017 tidak mengamanatkan bank untuk meningkatkan porsi portofolio berkelanjutan, termasuk porsi portofolio kredit untuk energi terbarukan. Kedua, kurangnya bankabilitas dan tingginya risiko proyek energi terbarukan, termasuk biaya modal yang tinggi dan jangka waktu yang lebih lama untuk pembiayaan proyek.

Ketiga, kurangnya keakraban bank dengan fitur-fitur proyek energi terbarukan. Bank perlu menganalisis proyek energi terbarukan dan menemukan cara untuk mengurangi risiko pembiayaan proyek energi terbarukan. Keempat, rendahnya kesadaran dan kepercayaan investor domestik untuk berinvestasi di energi terbarukan.

Masih banyak pekerjaan rumah di bidang pembiayaan, satu di antara masalah pengembangan energi terbarukan.

Artikel Terkait

Terkini