Pelaku Wisata di Manggarai Barat menilai kebijakan kenaikan harga tiket ke Pulau Komodo berpotensi merugikan masyarakat lokal.

Koridor.co.id

Protes pelaku wisata di Manggarai Barat terhadap harga tiket (Foto: Formapp Mabar)

Sejumlah pelaku pariwisata dari berbagai asosiasi di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT),  mendatangi Balai Taman Nasional Komodo (TNK), di Labuan Bajo, 18 Juli 2022. Mereka ke kota pariwisata superpremium itu, memprotes kebijakan menetapkan tarif baru ke Pulau Komodo. Mereka menilai kebijakan itu, berpotensi merugikan pelaku pariwisata Labuan Bajo, terutama dari kalangan masyarakat.

Mereka juga mempertanyakan terkait rekomendasi studi Daya Dukung dan Daya Tampung Wisata yang membatasi jumlah pengunjung, namun pada saat bersamaan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) justru memberi izin ke PT. Flobamor sebagai pengelola tunggal.

Ketua Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata Manggarai Barat ( Formapp-Mabar)  Rafael Todowela mengatakan pengelolaan pariwisata seharusnya inklusif atau melibatkan semua elemen masyarakat bukan hanya investor.

“Selama ini praktik pengelolaan pariwisata ini inklusif bagus, hotel, kapal, restoran, semua orang komodo terlibat.  Petani juga diuntungkan karena bisa mendistribusikan sayur mayurnya ke hotel, ke kapal-kapal, restoran,” tutur Rafel ketika dihubungi Koridor, 19 Juli 2022.

Kebijakan ini bertentangan dengan pemulihan ekonomi yang sedang bergairah hingga memerlukan stimulus.  Tapi saat bersamaan ada kenaikan tiket, menjadi Rp3,7 juta per orang (berlaku pada 1 Agustus 2022)  yang membuat hanya orang kaya yang bisa masuk.

Padahal UMP masyarakat lokal rata-rata hanya Rp1,95 juta, sehingga dipastikan mereka tidak bisa membeli tiket. Begitu juga dengan wisatawan yang bukan dari kalangan orang kaya sulit untuk menikmati wisata ke Pulau Komodo.

Padahal, kehadiran wisatawan menengah ke bawah ini, justru menguntungkan pelaku wisata dari kalangan masyarakat lokal karena jumlah mereka banyak. Mereka menginap di homestay milik penduduk, sewa perahu dari masyarakat lokal hingga menggunakan jasa pemandu wisata lokal.  Jadi, tiket dulu yang harganya Rp170 ribu hingga Rp200 ribu untuk wistawan asing dan nusantara sekitar Rp100 ribu, cukup adil.

“Hadirnya hotel perusahaan berpotensi menghilangkan homestay. Logikanya wistawan yang membeli tiket Rp3,7 juta berkantong tebal akan mencari hotel mewah. Selain itu pemandu wisatawa freelance di Labuan Bajo tidak akan dipakai karena perusahaan akan menggunakan kualifikasi jasa pemandu wisata,” ungkap pria yang berprofesi sebagai pemandu wisata freelance ini.

Rafel juga mengatakan, dari segi konservasi  bertentangan. Prinsip konservasi adalah  alam dijaga, tidak dirusak, tidak mengubah apa pun, selain wisata. Kehadiran perusahaan yang mengelola  konsrevasi itu justru bertentangan dengan prinsip konservasi seperti membangun gedung. Jadi ini upaya mencari keuntungan dari konservasi.

Bupati Manggarai Barat Edi Endi berjanji menyampaikan protes dari pelaku wisata ini kepada Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat. Dia mengingatkan Pemkab Manggarai Barat tidak punya kewenangan terkait zona wisata Taman Nasional Komodo.

Pemerintah daerah harus taat dan tunduk atas keputusan dari pemerintah pusat sebagai bagian dalam bingkai otonomi daerah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk itu Bupati meminta Formapp Mabar berdialog dan merumuskan tuntutan secara bersama untuk dibawa ke Pemerintah Provinsi maupun Pusat.

Artikel Terkait

Terkini