Laju perusahaan rintisan bagai roda yang berputar. Dulu merajai pasar, kini PHK karyawan secara massal. Apa penyebabnya?

Koridor.co.id

Tekanan makro-ekonomi yang cukup berat paska pandemi Covid-19, mulai dari kenaikan inflasi, tren penyesuaian suku bunga, pelemahan daya beli, risiko geopolitik dan model bisnis yang berubah signifikan menyebabkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor industri. Tak terkecuali di perusahaan rintisan atau startup.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai hampir sebagian besar startup yang melakukan PHK massal disebut sebagai ‘Pandemic Darling’ atau perusahaan yang meraup kenaikan GMV (Gross Merchandise Value) selama puncak pandemi 2020-2021.

Karena valuasinya tinggi, maka mereka dipersepsikan mudah cari pendanaan baru. Faktanya agresivitas ekspansi perusahaan digital ternyata saat ini tidak sebanding dengan pencarian dana baru dari investor.

“Banyak investor terutama asing menjauhi perusahaan dengan valuasi tinggi tapi secara profitabilitas rendah, atau model bisnisnya tidak sustain (berkelanjutan),” kata Bhima Yudhistira dalam analisisnya, seperti dikutip Minggu, 20 November 2022.

Selain itu, menurut Bhima Yudhistira, fenomena overstaffing atau melakukan rekrutmen secara agresif menjadi penyebab selanjutnya startup akhirnya PHK massal karyawannya.

Banyak founder dan CEO perusahaan yang overoptimistis, ternyata paska pandemi Covid-19 reda, masyarakat lebih memilih omni channel bahkan secara penuh berbelanja di toko offline (hanya pembayaran pakai digital/mobile banking-transaksi dilakukan manual).

Akibat fenomena overstaffing, biaya operasional membengkak, dan menjadi beban kelangsungan perusahaan digital.

Paska pandemi awalnya diharapkan terjadi kenaikan jumlah user dan profitabilitas layanan yang kontinyu. Sebaliknya, harapan mulai pupus ketika konsumen terutama di Indonesia dan negara Asia Tenggara berhadapan dengan naiknya inflasi pangan dan energi sekaligus, sehingga mengurangi pembelian barang dan jasa melalui layanan platform digital.

Perubahan regulasi punya efek terhadap kelanjutan lini bisnis raksasa digital terutama dibidang keuangan. Sejak adanya standarisasi QRIS, banyak pengguna dompet digital yang kembali ke mobile banking. Beberapa perusahaan tidak mengantisipasi adanya perubahan cara main (level of playing field) dari regulasi sehingga menekan berbagai prospek pertumbuhan.

Pemerintah harus mulai mengatur model bisnis e-commerce dan ride-hailing yang melakukan promo dan diskon secara besar-besaran untuk pertahankan market share, sebab berdampak pada persaingan usaha sektor digital yang menjadi kurang sehat.

Boleh jadi konsumen baru tergoda promo, tapi untuk terus menerus lmeakukan promo, sebenarnya suicide mission (misi bunuh diri) bagi startup. Ketika pendanaan berkurang, sementara yang dikejar hanya valuasi, promo dan diskon menjadi jebakan keuangan. Harusnya perusahaan digital lebih mendorong perlombaan fitur yang memang dibutuhkan oleh konsumen.

Artikel Terkait

Terkini