KUR klaster jadi solusi agar UMKM naik kelas. Sayangnya, ada empat permasalahan mendasar yang dihadapi

Koridor.co.id

Souveni G20 dari pengrajin Bali. (Foto: Antara
Produk UMKM dalam gelaran Presiden G20 di Bali.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyerahkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) klaster di Istana Negara pada 19 Desember 2022. Presiden mengajak para pelaku UKM di seluruh sektor untuk memanfaatkan program KUR klaster ini, termasuk pertanian, perkebunan dan peternakan.

Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, menilai KUR klaster merupakan solusi terbaik untuk menjawab tantangan UMKM agar naik kelas. Selain itu, pembentukan KUR klaster juga dapat meningkatkan kesejahteraan para pelaku UMKM.

“KUR klaster yang digagas oleh Presiden adalah solusi terbaik untuk menjawab tantangan yang ada. Jawaban atas tantangan untuk menaikkan kelas UMKM dan jawaban atas tantangan untuk meningkatkan kesejahteraan para pelaku ekonomi penopang signifikan produk domestik bruto (PDB) Indonesia,” kata Ajib Hamdani dalam keterangannya kepada Koridor, Kamis (22/12/2022).

Saat ini mengacu pada data dari Kementerian Koperasi dan UMUM, jumlah UMKM mencapai lebih dari 64,19 juta orang. Sektor UMKM ini menopang lebih dari 61,97 persen PDB atau senilai Rp8.573, 89 triliun. Namun, sektor ini mempunyai empat permasalahan mendasar.

Pertama, masalah literasi keuangan yang rendah. Pemahaman para pelaku ekonomi sektor ini cenderung belum mengerti tentang laporan keuangan, pentingnya pencatatan dan administrasi, serta sistem manajemen keuangan.

Kedua, belum terbangunnya ekosistem bisnis dari hulu ke hilir. Keadaan inilah yang menyebabkan UMKM sulit untuk mempertahankannya atau sustain karena tidak mendapatkan nilai tambah yang maksimal.

Ketiga, tidak atau kurangnya jaminan yang dibutuhkan untuk memperoleh pinjaman. Keempat, rendahnya produktivitas. Hal ini dikarenakan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan kekurangan teknologi.

Meski dengan keterbatasan yang ada, Ajib menilai, UMKM tetap bisa berjalan dan terus tumbuh, baik dari sisi jumlah pelakunya maupun diversifikasi usahanya. Ini menunjukkan bahwa UMKM sebenarnya sangat feasible, tetapi banyak yang belum bankable.

“Indikasi UMKM feasible, misalnya masih banyaknya pelaku usaha yang mendapatkan pola pembiayaan konvensional, meminjam dari rentenir, atau yang pinjam melalui pinjaman online (pinjol) dengan bunga yang sangat tinggi, tetapi usahanya masih berjalan dengan baik. Indikator seperti ini menunjukkan, bahkan dengan cost of fund yang tinggi, UMKM masih tetap bisa berjalan,” ujar Ajib.

Ajib berharap industri keuangan sebagai penyalur kredit KUR klaster dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mampu mendukung program ini. Industri keuangan cenderung kurang berpihak pada pelaku UMKM. Bahkan, rasio kredit UMKM masih dalam kisaran 20 persen dari total kredit yang berkisar Rp1.200 triliun. Padahal idealnya, porsi UMKM bisa lebih ditingkatkan mencapai 30 persen, atau kisaran Rp1.800 triliun.

“Ini kondisi yang tidak mudah, karena industri keuangan, terutama perbankan, adalah industri yang high regulated dan harus prudent dalam menyalurkan kredit. Di sisi lain, salah satu permasalahan mendasar UMKM adalah literasi keuangan yang cenderung masih rendah,” ujar dia.

UMKM tidak akan bisa tumbuh secara alamiah dan bersaing dengan industri besar. Dibutuhkan intervensi regulasi agar UMKM tetap bisa mempunyai akses maksimal dalam konteks mendapatkan kredit. OJK pun mempunyai peran yang sangat sentral dalam hal ini.

“KUR klaster membutuhkan panduan teknis dalam bentuk aturan yang dikeluarkan oleh OJK, sehingga perbankan mempunyai dasar yang kuat dan terukur dalam teknis penyaluran,” ujarnya.

Ajib berharap program KUR klaster bisa terlaksana dengan optimal dan menjadi instrumen efektif untuk mendongkrak UMKM naik kelas. Masyarakat terutama para pelaku UMKM, menunggu realisasi nyata dari program pro UMKM dari pemerintah. “Jangan sampai program ini hanya menjadi program hiasan, bagus dalam konsep tapi kurang optimal dalam dukungan pelaksanaan.”

Artikel Terkait

Terkini