Pengeluaran konsumsi rumah tangga mengalami penurunan. Kontribusi pengeluaran rumah tangga terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) secara tahunan atau year on year (yoy) turun dari 52,9 persen pada kuartal IV-2021 menjadi 51,7 persen pada kuartal IV-2022. Meski secara kumulatif, konsumsi rumah tangga sepanjang 2022 mencatatkan pertumbuhan 4,93 persen.
Direktur Program Institut for Development of Economic and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, mengatakan daya beli masyarakat Indonesia terbilang masih rendah. Apalagi sebagian besar pendapatan masyarakat digunakan untuk konsumsi makanan dan minuman.
Lihat saja, pengeluaran konsumsi rumah tangga yang terdiri atas makanan dan minuman, selain restoran sebesar Rp1.065,13 triliun dengan kontribusi 40,32 persen. Pakaian, alas kaki dan jasa perawatan Rp85,41 triliun berkontribusi 3,23 persen. Perumahan dan perlengkapan rumah tangga Rp332,71 triliun dan menyumbang 12,59 persen.
Kesehatan dan pendidikan Rp182,09 triliun berkontribusi 6,89 persen. Transportasi dan komunikasi Rp590,72 triliun menyumbangkan 22,36 persen. Restoran dan hotel Rp263,95 triliun berkontribusi 9,99 persen. Lainnya Rp121,84 triliun atau berkontribusi 4,61 persen.
“Pendapatan dialokasikan paling besar untuk mengkonsumsi makanan dan minuman atau non durable goods. Sedangkan pengeluaran besar lainnya untuk transportasi dan komunikasi sebagai dampak kenaikan harga Bahan Bakar Minya (BBM),” kata Esther Sri Astuti dalam keterangannya, Selasa, 7 Februari 2023.
Pengeluaran konsumsi pemerintah juga tercatat turun. Konsumsi pemerintah pada kuartal IV-2021 sebesar 11,9 persen turun menjadi 9,9 persen pada kuartal IV-2022. Nilai konsumsi pemerintah pada kuartal IV-2021 mencapai Rp535,6 triliun atau merosot pada kuartal IV-2022 menjadi Rp506,97 triliun. Hal ini dikarenakan besarnya dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) juga berkurang.
Begitu juga dengan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) mengalami penurunan. PMTB pada kuartal IV-2021 sebesar 31 persen menjadi 29,8 persen pada kuartal IV-2022. Nilai PMTB mencapai Rp1.525,94 triliun terdiri atas bangunan sebesar Rp1.109,75 triliun berkontribusi 72,7 persen.
Mesin dan perlengkapan Rp180,34 triliun berkontribusi 11,8 persen. Kendaraan Rp82,77 triliun berkontribusi 5,4 persen. Peralatan lainnya Rp22,42 triliun berkontribusi 1,5 persen. CBR Rp92,31 triliun berkontribusi 6,0 persen. Produk kekayaan intelektual Rp38,33 triliun berkontribusi 2,5 persen.
“PMTB masih didominasi dalam bentuk bangunan, artinya kontribusi penanaman modal yang masuk ke Indonesia masih relatif kecil untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Share realisasi investasi BKPM terhadap PMTB hanya berkisar 12 persen,” ujarnya.
Sementara ekspor, pada 2022, net ekspor mencapai Rp195,28 triliun meningkat dibandingkan pada 2021 sebesar Rp138,51 triliun. Ia mengungkapkan bahwa volume ekspor Indonesia relatif tetap dan impor masih relatif tinggi. Net ekspor meningkat, lebih karena booming harga komoditas.
Namun, seiring dengan tren global akan ada ancaman terhadap produk ekspor Indonesia karena tren ekonomi hijau atau trend green economy. Sehingga semua produk ekspor Indonesia harus memenuhi standar yang berkelanjutan atau sustainability standard.
Ia pun merekomendasikan agar pemerintah meningkatkan daya beli masyarakat dengan meningkatkan pendapatan per kapita (peningkatan kualitas SDM). Kemudian, pengeluaran pemerintah untuk hal produktif agar punya daya ungkit lebih pada perekonomian.
Lalu, penanaman modal harus ditingkatkan dan fokus pada investasi yang bisa membuka lapangan pekerjaan lebih banyak (labor intensif). Kemudian melakukan hilirisasi industri untuk melakukan substitusi impor dan meningkatkan ekspor produk olahan.
“Hilirisasi industri untuk melakukan substitusi impor dan meningkatkan ekspor produk olahan yang bernilai tambah sehingga nilai ekspor meningkat,” ujarnya.