Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti Muhammad Adil mendapat sorotan usai menyebut Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai “iblis dan setan” dalam Rapat Koordinasi Nasional Optimalisasi Pendapatan Daerah, di Pekanbaru, Riau, pada Kamis (8/12/2022). Pernyataan tersebut keluar lantaran dirinya mempertanyakan pembagian dana bagi hasil (DBH) minyak ke wilayahnya.
Pasalnya, produksi minyak di wilayahnya meningkat, namun dana bagi hasil yang diterima justru menurunn. Sebagai kepala daerah yang diangkat oleh rakyat, dia ingin mempertanyakan manfaat dari minyak Meranti kepada kesejahteraan masyarakatnya.
Pengamat kebijakan publik dari Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, menilai persoalan pembagian kue antara daerah dan pusat dari sejak masa Orde Baru memang sudah terjadi. Padahal, otonomi daerah pascareformasi dibuat dalam rangka mengatasi ketimpangan antara pusat dan daerah.
Namun, selama 24 tahun reformasi berlangsung, justru banyak yang merasa terjadi ketidakadilan antara pusat dan daerah. Banyak daerah yang kaya akan sumber daya alam (SDA) merasa dieksploitasi oleh pusat. Sumber daya alam daerah dikeruk oleh pemerintah pusat, dengan hasil penjualan hanya 15 persen yang kembali ke daerah, sedangkan 85 persen lainnya masuk ke pusat.
“Dengan pembagian tersebut hal yang wajar jika daerah menuntut jumlah yang lebih karena mereka hanya mendapatkan 15 persen saja sementara 85 persen lainnya masuk ke pusat dan menjadi hak pusat untuk penggunaan anggarannya. Dan Bupati Meranti Muhammad Adil adalah salah satu Kepala Daerah yang berani bersuara lantang,” kata dia dalam keterangan yang diterima Koridor.co.id, Senin (12/12/2022).
Menurut Achmad, bisa jadi suara Bupati Meranti ini mewakili suara kepala daerah lainnya yang takut untuk bersuara terhadap pusat. Sementara kondisi masyarakatnya juga miskin. Apalagi, pemerintah pusat juga tengah sibuk dengan proyek-proyek ambisius mercusuarnya.
“Mungkin mereka melihat betapa sibuknya pemerintah pusat dengan proyek-proyek ambisius mercusuar, seperti Kereta Cepat Jakarta Bandung dan proyek pemindahan Ibukota Baru IKN. Sementara masyarakat yang mereka pimpin dan temui setiap hari untuk makan saja sulit,” jelas dia.
Achmad menyayangkan respons dari Kemenkeu yang tidak mencerminkan empati sebagai negarawan. Bahkan tidak menyentuh substansi yang menjadi sumber keresahan Adil yaitu Meranti, sebagai daerah termiskin padahal penghasil minyak mentah.
“Yang dipersoalkan adalah kekesalan Bupati Meranti yang bertanya bahwa pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) diisi iblis atau setan,” ujarnya.
Kementerian Keuangan yang diwakili Staf Khusus Kemenkeu yaitu Yustinus Prastowo memberi pernyataan bahwa Kementerian Keuangan juga telah mengalokasikan pada 2022, transfer ke daerah dana desa Rp872 miliar atau 75 persen dari APBD Meranti atau empat kali lipat PAD Meranti. Nilainya sebesar Rp222 miliar. Yustinus menuntut Bupati Meranti ini untuk minta maaf secara terbuka dan melakukan klarifikasi agar tidak terjadi penyesatan publik secara lebih luas.
Menurut Achmad, sebagai penyelenggara negara harus mencari jalan keluar untuk menjawab keresahan dari Bupati Meranti ini karena pernyataan yang disampaikan mewakili keresahan rakyat di daerahnya.
“Jawaban dari Stafsus Kemenkeu ini hanya seperti lari dari masalah karena pernyataan tersebut tentunya tidak akan menyelesaikan akar permasalahannya. Apalagi menurut Adil, DBH yang diterima hanya Rp115 miliar, naiknya cuma Rp700 juta saja. Lifting-nya naik, asumsinya US$100 per barel lah naiknya (DBH) cuma Rp700 juta,” ujar dia.
Tentunya, kata dia, sangat wajar jika Bupati Meranti geram. Dan justru ini patut diapresiasi sebagai bentuk perjuangan Bupati Meranti untuk menyejahterakan rakyatnya. Kemenkeu pun, kata dia, tidak boleh terpancing dan harus tetap menanggapi dengan empati dan kepala dingin untuk memecahkan persoalan yang diangkat oleh Bupati Meranti ini.
“Harus ada percakapan lebih jauh terkait solusi atas persoalan tersebut sehingga Meranti bisa berkembang lebih baik dan layak sebagai daerah penghasil minyak,” kata Achmad.