
Polemik transaksi janggal Rp349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih memanas. Usai cecar Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indarwati, kini DPR memanggil Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, dan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana.
Anggota Komisi III DPR RI, Habiburrokhman, mengatakan DPR perlu melakukan konfirmasi atas informasi mengenai transaksi mencurigakan tersebut. Apakah ini adalah dugaan korupsi yang dilakukan oleh oknum pegawai Kemenkeu atau tidak. Sebab, mengacu pada tindak pidana pencucian uang, maka seharusnya terdapat tindak pidana asal yang dilakukan.
“Demikian besar angka tindak pidana pencucian uang bisa muncul tanpa keterlibatan orang yang memiliki kekuatan di Kemenkeu, nah inilah yang kita mau tanya,” kata Habiburrokhman dalam acara It’s A Wonderful Day, Good Radio Jakarta bersama Good Radio 104,3 FM, bertajuk Polemik Menkopolhukam vs DPR, Selasa 28 Maret 2023.
Tindak pidana pencucian uang adalah tindakan menyamarkan hasil kejahatan. Oleh karena itu, asal utama kejahatan tindak pidana harus dibongkar. Apalagi tindak pidana itu bermacam-macam. Misalnya, penggelapan pajak atau penyelundupan melalui bea cukai.
Untuk itu, pentingnya tiga pihak terkait yakni Menko Polhukam, Menteri Keuangan, dan Kepala PPATK sebagai Tim Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidanan Pencucian Uang atau Komite TPPU untuk bertemu dan hadir bersama mengonfirmasi dugaan transaksi mencurigakan tersebut.
“Makanya penting Pak Mahfud, Ibu Sri Mulyani, Kepala PPATK masing-masing sebagai ketua koordinator tim koordinasi nasional pencegahan dan pemberantasan TPPU, dan Ibu Sri Mulyani sebagai anggota komisi tersebut, dan Pak Ivan sebagai sekretaris bertemu supaya kita bisa mengonfirmasi. Kalau enggak kan susah bisa saling lempar. Nah ini yang kita ingin hadir (Rabu) semuanya. Kita ingin klarifikasi keterangan tiga pihak maka ketiga-tiganya harus hadir,” ujarnya.
Ia menuturkan rapat dengan ketiga pihak tersebut sebagai parameter yang selanjutnya bisa membentuk panitia khusus (Pansus).
“Bisa jadi hak angket, hak DPR untuk melakukan penyelidikan. Bisa jadi hak menyatakan pendapat. Ini kita bukan against the government ya, apalagi Presiden, jauh sama sekali. Nah kita dalam konteks apa yang bisa kita lakukan, perangkat apa yang kita miliki menyikapi persoalan ini. Kalau DPR ke situ kami bukan bawahan KPK juga. Jadi kalau KPK mau menindaklanjuti silakan saja. Tapi kami fokus pada hak-hak kami yang diatur oleh konstitusi,” ungkapnya.
Penting bagi publik untuk tahu dengan jelas persoalan ini. Karena sampai sekarang publik masih bertanya-tanya transaksi janggal ini.
“Ini ibarat petir di siang bolong tapi tidak turun-turun hujannya. Mengagetkan sesaat tapi tindak lanjutnya enggak jelas. Inikan kita menunggu semua. Kalau kita berbicara seperti ini jangan juga kita dianggap merendahkan pemerintah. Kita kawal saja. Kita minta publik mengawal, teman-teman media kawal. Jangan sampai petir tadi tidak ada hujannya. Kita tunggu kasus ini sampai dibongkar tuntas,” tegas dia.
Sementara itu, Deputi Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Kurniawan Adi Nugroho, mengatakan informasi yang diperoleh dan dikeluarkan oleh PPATK merupakan data rahasia. Terutama jika sudah menyangkut nama, nilai, atau jumlah transaksi termasuk jumlah rekening yang dimiliki seseorang, sehingga tidak mudah dibuka ke publik.
“Itu sebenarnya informasi rahasia sehingga tidak bisa segampang itu untuk dibuka ke publik. Ini bukan termasuk data uang terbuka sehingga yang bisa membuka (informasi) itu hanyalah pengadilan nantinya,” kata Kurniawan.
Menurut Kurniawan, ketika masuk dalam proses penyelidikan, para penyidik pun tidak bisa seenaknya mengumumkan jumlah rekening seseorang. Kata dia, semua itu akan dibuka di pengadilan untuk pembuktiannya.
Memang ia sendiri terkejut dengan mencuatnya transaksi mencurigakan karena melibatkan nilai yang cukup besar yakni Rp349 triliun. Ditambah lagi Menko Polhukam Mahfud MD harus turun tangan langsung dan menyampaikan ke publik.
Namun sayangnya, perdebatan transaksi tersebut belakangan ini jauh dari substansinya dan hanya berputar pada apakah ini informasi yang sifatnya rahasia atau bukan.
Seharusnya, para penegak hukum baik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, kepolisian, maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang berada di kementerian dikoordinasikan untuk menanganinya.
Kejaksaan Agung atau Komite TPPU seharusnya berkoordinasi dan menjadikan ini sebagai persoalan hukum dan bukan persoalan politik. Bahwa nanti ada implikasi politik yang kemudian parlemen membuat pansus adalah persoalan lain dan tidak ada masalah terkait itu. Ia berharap substansi persoalan ini harus dikedepankan.
“Kita melihat bahwa proses politik silakan saja dilakukan oleh parlemen sebagai bentuk pengawasan terhadap pemerintah, tetapi proses hukum ini jangan dikaburkan dengan persoalan-persoalan yang enggak penting. Kalau kita berdebat apakah informasi ini rahasia atau tidak, inikan sudah jauh dari substansinya. Karena substansinya ada transaksi mencurigakan yang terindikasi melibatkan ASN menyangkut uang yang cukup besar Rp349 triliun,” ujarnya.