Kalau zaman kolonialisme ada tanam paksa, zaman modern ekspor paksa. Presiden Jokowi ogah mengikuti kemauan WTO soal nikel

Koridor.co.id

Presiden Jokowi memberikan sambutan saat membuka Rapat Koordinasi Nasional
Presiden Jokowi memberikan sambutan saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Intern Pemerintah 2022 di Istana Negara, Jakarta, Selasa (14/6). (Kredit Foto setkab.go.id/Rahmat)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai di tengah zaman modern seperti saat ini ada penjajahan model baru berupa ekspor paksa. Jokowi mengibaratkan kondisi saat ini seperti zaman penjajahan Belanda. Pernyataan tersebut merespons kekalahan Indonesia atas gugatan yang dilayangkan oleh Uni Eropa atas larangan ekspor bijih nikel Indonesia di World Trade Organization (WTO).

“Mau kita lanjutkan ekspor bahan mentah. Hati-hati, dulu zaman VOC, zaman kompeni itu ada yang namanya kerja paksa, ada yang namanya tanam paksa. Zaman modern ini muncul lagi ekspor paksa. Kita dipaksa untuk ekspor. Loh ini barang kita kok,” kata Jokowi dalam Kompas100 CEO Forum Tahun 2022 yang digelar di Istana Negara, Jakarta, seperti ditulis Minggu, 4 Desember 2022.

Perihal tersebut, Kepala Negara pun menginstruksikan para menteri untuk kembali bertarung dan mengajukan banding di WTO terkait nikel. Jokowi bersikeras agar ekosistem industri mineral bisa terwujud di Tanah Air.

“Kita kalah tapi apa kita langsung pengen, oh berhenti saja? Tidak. Sampean para menteri banding urusan nikel itu. Karena ceritanya belum rampung kalau kita berhenti. Ekosistem besar yang kita impikan ini tidak akan muncul,” tegas Jokowi.

Jokowi menegaskan bahwa Indonesia memiliki seluruh bahan baku untuk membuat baterai dari mulai nikel, timah, bauksit, dan tembaga. Sedangkan untuk lithium, Jokowi bilang, sudah berkordinasi dengan Perdana Menteri (PM) Australia Anthony Albanese untuk melakukan kesepakatan pembelian lithium. Apalagi, di sana sudah ada tambang milik orang Indonesia.

“Ini strategis, benar melakukan intervensi seperti itu sehingga ekosistem besar yang ingin kita bangun jadi. Grafit juga sama sintesisnya bisa kita produksi sendiri sekarang. Artinya ini sudah jadi,” ujarnya.

Menurut Jokowi tantangan selanjutnya adalah mengintegrasikan ekosistem tersebut untuk membawa Indonesia menuju peradaban baru. Sebab, sumber-sumber mineral tersebut berada di daerah berbeda-beda. Seperti tembaga saja ada di Papua dan Sumbawa, nikel di Sulawesi, bauksit di Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau (Kepri).

“Mengintegrasikan semua barang ini yang tidak gampang untuk jadi sebuah ekosistem. Inilah yang terus saya mati-matian ini harus jadi karena inilah yang akan melompatkan kita meloncati menuju peradaban yang lain,” ujarnya.

Indonesia diketahui kalah atas gugatan larangan ekspor bijih nikel yang pada 2000 dilayangkan oleh Uni Eropa ke Badan Penyelesaian Sengketa (DSB: Dispute Settlement Body) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO: World Trade Organization).

Dalam keputusan final, panel WTO menyatakan kebijakan pelarangan ekspor serta kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral dalam negeri yang dikeluarkan Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO.

Informasi tersebut disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam rapat kerja bersama Komisi VII DPR, Jakarta, Senin, 21 November 2022.

“Memutuskan bahwa kebijakan ekspor dan kewajiban penganan dan pemurnian mineral nikel di Indonesia melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994,” ungkapnya.

Panel WTO menolak pembelaan Indonesia: adanya keterbatasan jumlah cadangan nikel nasional dan demi melaksanakan Good Mining Practice (Aspek Lingkungan). Keputusan final dari panel WTO itu akan didistribusikan kepada negara anggota lainnya pada 30 November 2022. Setelah itu, dimasukkan dalam agenda DSB pada 20 Desember 2022.

Artikel Terkait

Terkini