Indonesia kalah atas gugatan larangan ekspor bijih nikel yang pada 2000 dilayangkan oleh Uni Eropa ke Badan Penyelesaian Sengketa (DSB: Dispute Settlement Body) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO: World Trade Organization). Dalam keputusan final, panel WTO menyatakan kebijakan pelarangan ekspor serta kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral dalam negeri yang dikeluarkan Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO.
Informasi tersebut disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam rapat kerja bersama Komisi VII DPR, Jakarta, Senin (21/11/2022).
“Memutuskan bahwa kebijakan ekspor dan kewajiban penganan dan pemurnian mineral nikel di Indonesia melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994,” ungkapnya.
Panel WTO menolak pembelaan Indonesia: adanya keterbatasan jumlah cadangan nikel nasional dan demi melaksanakan Good Mining Practice (Aspek Lingkungan).
Keputusan final dari panel WTO itu akan didistribusikan kepada negara anggota lainnya pada 30 November 2022. Setelah itu, dimasukkan dalam agenda DSB pada 20 Desember 2022.
Menyikapi hasil panel tersebut, Arifin menegaskan pemerintah Indonesia akan mengajukan banding (appeal). Pemerintah menilai keputusan panel belum memiliki kekuatan hukum tetap.
Indonesia, kata Arifin, tidak perlu mengubah peraturan atau bahkan mencabut peraturan yang dianggap tidak sesuai sesuai sebelum keputusan sengketa diadopsi DSB. “Indonesia perlu mempertahankan kebijakan hilirisasi mineral (nikel) dengan mempercepat proses pembangunan smelter,” tegasnya.
Direktur Eksekutif Energi Watch Mamit Setiawan sepakat agar pemerintah mengambil langkah selanjutnya, yaitu banding. Menurut dia, nikel merupakan sumber daya alam kebanggaan Indonesia, karena saat ini sangat dibutuhkan dalam transisi energi.
“Kita tidak boleh kalah dengan mereka. Ini hasil alam kita masa harus tunduk dengan aturan yang merugikan. Jangan karena kita negara berkembang maka kita yang ditekan. Harus fair Uni Eropa kalau mau mereka berinvestasi di Indonesia,” kata Mamit kepada Koridor, Rabu (23/11/2022).
Meskipun 90 persen investasi nikel digelontorkan oleh Cina, menurut Mamit, efek bergandanya (multiplier effect) terlihat. Ekonomi daerah tumbuh, tenaga kerja terserap, dan negara mendapatkan manfaat dari hilirsasi ini.
Ke depan, Mamit menyarankan agar hilirisasi dilakukan end to end. Dengan begitu Indonesia tidak hanya menjadi konsumen dengan menjual barang yang saat ini 1/4 jadi ke Cina lalu masuk lagi ke Indonesia menjadi barang jadi.
“Jadi dari hulu sampai hilir dimana sudah jadi 100 persen dibuat di Indonesia. Dengan demikian multiplier effect terlihat jelas,” ujarnya.
Kekalahan Indonesia dalam gugatan WTO lantaran ada beberapa peraturan perundang-undangan yang dinilai melanggar ketentuan WTO. Pertama, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba). Kedua, Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Ketiga, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Keempat, Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Optimalisasi sektor hilir
Dalam pandangan anggota Komisi VII DPR Bambang DH, Indonesia terlalu cepat meratifikasi berbagai kesepakatan perdagangan di WTO. Ini berdampak pada gagalnya Indonesia dalam sengketa gugatan kebijakan ekspor nikel.
“Ke depan kita mesti cermat. Tampaknya, dengan adanya tren kesepakatan global kemudian kita meratifikasi, maka kita hanya jadi pasar saja,” ungkapnya.
Bambang juga menyoroti hilirisasi mineral yang belum optimal dilakukan. Dalam konjungan kerja Komisi VII, paparnya, salah satu objeknya adalah smelter nikel. “Ternyata di sana yang kami lihat hanya jadi batangan atau lempengan mikro nikel. Artinya tidak optimal kita melakukan hilirisasi,” katanya.
Karena itu, dia mendesak pemerintah mengoptimalkan hilirisasi agar meningkatkan nilai tambah, sehingga banyak manfaat yang diperoleh. Jangan sampai, tegasnya, Indonesia hanya membersihkan hasil tambang (dalam bentuk batangan), kemudian negara lain yang mendapatkan manfaat paling banyak. Bahkan persentasenya sampai 80-90 persen dari nilai ekspor batangan.
“Ini tentu sangat merugikan. Kami dari Fraksi PDIP memberikan atensi supaya keinginan Presiden untuk mengekspor barang tidak dalam bentuk mentah atau setengah jadi bisa kita tekan dan nilai tambahnya ada di Indonesia,” katanya.