Pemerintah terus mendorong kebijakan hilirisasi nikel. Melalui kebijakan itu, industri harus mengekspor bijih nikel dyang telah diolah dalam bentuk jadi maupun setengah jadi.
Hilirisasi nikel dinilai mampu mendongkrak nilai tambah ekspor nikel. Menurut Presiden Joko Widodo (Jokowi), pendapatan negara dari ekspor nikel disebut meroket naik 2.300 persen atau menjadi Rp360 triliun dari sebelumnya hanya Rp15 triliun pada 2019. Tentunya nilai ekspor tersebut sangat menggairahkan sebagai angin segar penerimaan negara.
Namun kebijakan hilirisasi nikel tersebut tak luput dari kritik. Soal transparansi penerimaan negara hingga banyaknya tenaga kerja asing (TKA) asal Cina di wilayah industri nikel jadi topik yang ramai dibincangkan.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan ikut menyayangkan banyaknya tenaga kerja asing Cina di wilayah industri nikel dari mulai hulu ke hilir. Seharusnya, peluang kerja itu diisi oleh warga negara Indonesia, jangan sebaliknya: dari buruh sampai tukang las pun berasal dari Cina.
Kritikan pedas juga dilontrkan anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto. Ia mendesak pemerintah transparan terkait penerimaan negara dari hasil hilirisasi nikel. Pemerintah harus dapat menjelaskan besarnya keuntungan negara dari total nilai ekspor nikel tersebut.
Mulyanto meminta pemerintah jangan sekadar tebar pesona dengan membanggakan peningkatan nilai ekspor hilirisasi nikel dari Rp15 triliun menjadi Rp360 triliun, tapi tanpa menyebutkan besaran penerimaan bagi negara. Nilai pendapatan negara itu sangat penting untuk mengetahui siapa yang diuntungkan dari peningkatan nilai ekspor nikel ini.
“Pasalnya angka yang disebut pemerintah hanyalah nilai ekspor nikel, bukan penerimaan negara alias keuntungan untuk Indonesia. Jadi, yang kita kejar adalah besarnya penerimaan negara dari program hilirisasi nikel ini,” kata Mulyanto, Rabu (2/11/2022).
Dia menegaskan, selama ini industri smelter bebas dari pajak ekspor atau bea keluar. Penerapan pajak ekspor produk hilirisasi nikel setengah jadi berupa feronikel dan NPI (nickel pig iron) akan berlaku pada 2022. Itu pun baru rencana. Sampai di ujung 2022 ini bahkan masih belum ditetapkan.
Bahkan para pengusaha nikel itu mendapat insentif pembebasan pajak atau tax holiday (PPh badan) selama 25 tahun. Tidak pula membayar pajak pertambahan nilai (PPN). Karena tidak menambang dan hanya membeli ore dari penambang dengan harga murah, maka industri smelter tidak membayar royalti tambang sepeser pun.
Kebijakan hilirisasi nikel melarang penambang mengekspor ore nikel. Mereka harus menjual kepada industri smelter sesuai dengan harga patokan mineral dalam negeri yang kurang dari setengah harga nikel internasional.
Pekerja pun didatangkan dari luar negeri. “Jadi dapat dipahami kalau mantan Wapes Jusuf Kalla serta Bang Yos mengkritik keras soal TKA ini. Jangan-jangan dengan fasilitas insentif fiskal dan non fiskal yang super mewah untuk program hilirisasi nikel yang ada ini malah merugikan keuangan negara,” kata Mulyanto.
Mulyanto mendesak pemerintah melakukan evaluasi komprehensif program hilirisasi nikel sebelum mengembang pada hilirisasi tambang lainnya, seperti timah dan bauksit. Peta jalan (road map) harus jelas, sehingga benar-benar tumbuh industri dengan nilai tambah tinggi dan dengan multiplier effect yang besar bagi masyarakat.