Hilirisasi komoditas yang akan dibatasi ekspornya punya pengaruh besar bagi perekonomian Tanah Air. Apa saja potensinya?

Koridor.co.id

Ilustrasi Smelter

Dalam kebijakan hilirisasi industri berbasis pengolahan sumber daya mineral, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) fokus pada lima komoditas: industri berbasis bijih tembaga, industri berbasis bijih besi dan pasir besi, industri berbasis bijih nikel untuk stainless steel dan bahan baku baterai, industri berbasis bauksit, serta industri berbasis monasit, dan sumber potensial lainnya, seperti logam tanah jarang.

Berdasarkan data Kemenperin per 1 Februari 2023, terdapat 91 smelter di Indonesia dengan perincian 48 telah beroperasi, dan lainnya dalam tahapan feasibility study dan konstruksi.

Jumlah smelter terbanyak berada di Provinsi Sulawesi Tengah (25 smelter), Maluku Utara (22 smelter), Sulawesi Tenggara (12 smelter), Kalimantan Barat (10 smelter), dan terdapat 34 smelter yang terletak di berbagai provinsi lainnya.

“Dari 48 smelter yang telah beroperasi tersebut, smelter nikel memiliki total kapasitas produksi sebesar 262.560 ton per tahun, investasi mencapai Rp5,55 triliun, dan penyerapan tenaga kerja sebanyak 2.337 orang,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita pada rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI di Jakarta, Selasa, 14 Februari 2023.

Kemudian, smelter besi baja memiliki total kapasitas produksi sebesar 1,6 juta ton per tahun, investasi mencapai Rp15,96 triliun, dan penyerapan tenaga kerja sebanyak 2.729 orang. Untuk smelter tembaga memiliki total kapasitas produksi sebesar 150.000 ton per tahun, investasi mencapai Rp266 milliar, dan penyerapan tenaga kerja sebanyak 525 orang. Selain itu, smelter aluminium memiliki total kapasitas produksi 544.563 ton per tahun, investasi Rp15,66 triliun, dan penyerapan tenaga kerja 1.893 orang.

Menurut Agus, apabila dilakukan hilirisasi untuk komoditas yang akan dibatasi ekspornya, akan memberikan potensi besar untuk penyerapan tenaga kerja, penambahan kapasitas produksi, dan meningkatnya nilai investasi.

Sebagai contoh, pada 2022, Indonesia mengekspor bijih bauksit dan konsentratnya sebesar 17,8 juta ton. Apabila bijih bauksit ini dihilirisasi menjadi alumina, dapat menjadi 8,9 juta ton alumina yang akan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 13.011 orang, dengan potensi nilai investasi Rp104 triliun.

“Apabila dilakukan hilirisasi menjadi aluminium ingot, akan menjadi 4,5 juta ton aluminium ingot yang dapat menyerap tambahan tenaga kerja sebesar 36.885 orang, dengan kebutuhan nilai investasi sebesar Rp455 triliun,” sebutnya.

Untuk komoditas tembaga, pada 2022 Indonesia mengekspor bijih tembaga dan konsentratnya sebesar 3,1 juta ton. Hilirisasi komoditas tersebut menjadi katoda tembaga (copper cathode) berpotensi menyerap tenaga kerja sebanyak 1.045 orang dengan potensi kebutuhan nilai investasi Rp5,5 triliun.

Sedangkan, terkait komoditas nikel, bijih nikel dan konsentratnya sudah dilarang ekspor sehingga terjadi potensi hilirisasi yang dimulai dari FeNi/NPI. Jumlah ekspor FeNi/NPI saat ini mencapai 5,8 juta ton.

“Apabila dilakukan hilirisasi ke slab stainless steel, akan dapat menyerap 8.661 orang dengan nilai investasi Rp15 triliun, dan apabila dilakukan hilirisasi menjadi hot rolled stainless steel akan dapat menyerap 5.573 orang dengan investasi Rp8,5 triliun,” kata Agus Gumiwang Kartasasmita.

Artikel Terkait

Terkini