Digitalisasi penggunaan QRIS belum merata di Indonesia, BI harus pastikan tak ada potongan biaya

Koridor.co.id

farzand01 / Shutterstock.com

Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) mendorong penggunaan pembayaran dengan metode QR Code atau Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) ke seluruh wilayah di Indonesia.

Hal itu disampaikan Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag), Jerry Sambuaga saat meninjau pameran Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia (FEKDI), Jakarta, Senin, 8 Mei 2023.

Hingga saat ini, kata Jerry, sudah ada 37 juta orang di seluruh Indonesia yang menggunakan metode pembayaran menggunakan QR Code/QRIS.

“Karena memang mayoritas pengguna QRIS ada di Pulau Jawa. Tentunya kami mendorong ini agar bisa ditetapkan di luar Pulau Jawa juga,” kata Jerry Sambuaga.

Jerry Sambuaga melihat pembangunan dan pengembangan penggunaan QRIS akan merujuk ke Indonesia bagian timur. Oleh sebab itu, ia menegaskan, Kemendag siap mendukung pengembangan penggunaan QRIS di seluruh Tanah Air.

Dukungan Kemendag, dicontohkannya, terhadap penggunaan QRIS yakni melalui program digitalisasi pasar hingga 1.000 pasar per tahun. 

“Memang belum semua (pasar terdigitalisasi), tapi kalau pasar-pasar di beberapa daerah sudah mulai digitalisasi lewat QRIS. Jadi bayarnya tidak lagi pake tunai,” ujarnya.

Tak hanya persoalan pembayaran secara digital, program digitalisasi pasar juga terakses pada marketplace. Dengan mempertemukan penjual dengan pembeli tanpa harus bertemu secara fisik. 

“Hal seperti ini ada langkah-langkah yang mungkin terkesan sederhana tapi kami lakukan dalam rangka untuk mendukung digitalisasi,” ujar Jerry Sambuaga.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai ada banyak faktor yang membuat penggunaan QRIS masih belum merata di Indonesia sehingga penggunaannya belum maksimal.

“Jumlah pengguna QRIS belum maksimal, dan belum sebanyak e-wallet,” kata Bhima Yudhistira kepada Koridor, Senin, 8 Mei 2023. 

Menurut Bhima Yudhistira, faktor yang membuat penggunaan QRIS belum merata, pertama, keterbatasan infrastruktur. Dalam hal ini jaringan internet terutama di perdesaan dan wilayah luar Pulau Jawa.

Faktor kedua, edukasi. Bhima Yudhistira mengungkapkan untuk edukasi ini baik dari sisi pemilik toko atau usaha (merchant) dan juga konsumen. Selama ini, ada gap edukasi dari sisi pemilik toko. Misalnya, pemilik toko yang mungkin belum mendapatkan informasi tentang kemudahan QRIS. Kemudian, penggunaan QRIS dirasa terlalu rumit karena sebagian konsumen masih menggunakan pembayaran tunai. 

Sementara edukasi dari sisi konsumen, misalnya, penjual sudah menyediakan QRIS tapi konsumen masih memilih menggunakan uang kertas atau metode pembayaran lain. “Itu juga perlu diedukasi secara bertahap,” ujarnya.

Faktor ketiga, jeda waktu pembayaran. Menurut Bhima, banyak merchant yang mengaku ada jeda waktu dalam menerima pembayaran. 

“Jadi ketika mereka (konsumen) menggunakan pembayaran QRIS, ada jeda uang itu tidak langsung masuk ke rekening. Ada yang kemudian baru masuk hari berikutnya. Nah itu menyulitkan pembukuan dari merchant,” kata Bhima. 

Selain itu, ada juga merchant yang merasa ada potongan tambahan biaya administrasi. Bhima Yudhistira menegaskan, harusnya QRIS itu gratis tapi ada bank yang masih memunggut biaya yang dibebankan kepada pemilik toko.

“Banyak dari mereka menggunakan QRIS dan balik lagi sekarang menggunakan uang tunai atau alat pembayaran lainnya. Itu yang harusnya diselesaikan juga,” ujarnya.

Oleh sebab itu, pemerintah khususnya dalam hal ini Bank Indonesia (BI), harus memastikan dalam penggunaan pembayaran QRIS tidak dikenakan biaya administrasi atau potongan lain sehingga masyarakat dan pemilik usaha tertarik untuk menggunakan QRIS.

Artikel Terkait

Terkini