Defisit APBN mencapai Rp169,5 triliun. Penyebab utamanya, belanja kompensasi dan subsidi yang melonjak.

Koridor.co.id

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit pada akhir Oktober 2022. Nilainya mencapai Rp169,5 triliun atau 0,91 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

“Dibandingkan Pepres 98 Tahun 2022 yang merupakan landasan Undang-Undang APBN, defisit kita sebesar Rp840,2 triliun atau 4,5 persen dari PDB. Maka defisit (Oktober) masih jauh lebih rendah dari Pepres,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN Kita, Kamis (24/11/2022).

Defisit anggaran terjadi karena belanja negara yang tercatat lebih besar dari pendapatan negara. Belanja negara mencapai Rp2.351,1 triliun atau tumbuh 14,2 persen secara tahunan atau year on year (yoy) yang sebesar Rp2.058,9 triliun.

Komponen belanja Non K/L menjadi penyumbang utama naiknya belanja pemerintah pusat, karena adanya realisasi pembayaran kompensasi dan subsidi. Belanja Non K/L tercataat sebesar Rp917,7 triliun atau naik sampai 57,4 persen yoy.

Subsidi merupakan transfer dana dari pemerintah, bisa ke produsen (badan usaha) atau langsung ke masyarakat yang berhak menerima. Tujuannya agar harga suatu barang atau jasa lebih terjangkau oleh masyarakat.

Sedangkan kompensasi dibayarkan oleh pemerintah kepada badan usaha atas kekurangan penerimaan perusahaan akibat menanggung selisih harga jual lantaran mengacu pada formula harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Sebagai contoh, pemerintah membayar kompensasi ke PT Pertamina (Persero) karena menjual harga BBM di bawah biaya produksi.

Sementara untuk belanja K/L sebesar Rp754,1 triliun atau lebih rendah 9,5 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya. Lantas untuk Transfer ke Daerah (TKD) tumbuh 5,7 persen yoy atau sebesar Rp679,2 triliun.

Untuk pendapatan negara, tercatat mencapai Rp2.181,6 triliun atau tumbuh 44,5 persen yoy. Pendapatan tersebut berasal dari penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Penerimaan perpajakan tumbuh 47 persen atau Rp1.704,5 triliun.

Dengan kondisi kas yang defisit, realisasi pembiayaan anggaran turun 27,7 persen dibandingkan tahun lalu, sehingga menjadi Rp439,9 triliun. Bahkan lebih rendah dibandingkan target pembiayaan 2022 yang Rp840,2 triliun.

“Turunnya pembiayaan ini menggambarkan ada turning point (titik balik) menuju ke kondisi APBN yang lebih baik,” ujar Sri Mulyani.

Selain itu posisi sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) mencapai Rp270,4 triliun. Ia menambahkan untuk menghadapi kewaspadaan di tahun 2023, pemerintah akan mengakumulasi Silpa yang cukup signifikan. Alasannya, faktor pembiayaan tahun depan ada di tengah gejolak, sehingga pemerintah perlu meminimalisasikan risiko melalui kemampuan menjaga cash buffer. Ini adalah strategi yang sedang dilakukan pemerintah sampai akhir tahun.

“Jadi kalau lihat Silpa agak besar itu memang by design kita mencoba untuk mengelola risiko bagi tahun anggaran selanjutnya,” kata Sri Mulyani.

Artikel Terkait

Terkini