Data transaksi mencurigakan Rp349 triliun di Kemenkeu sama, hanya pengklasifikasiannya yang berbeda

Koridor.co.id

Silang data transaksi mencurigkan terus bergulir. Kini, tim Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan klarifikasi atas data yang telah disampaikan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Ham (Menko Polhukam), Mahfud MD dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR RI.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, menegaskan tidak ada perbedaan data antara Kementerian Keuangan dengan Menko Polhukam Mahfud MD, atas transaksi mencurigakan senilai Rp349,87 triliun yang melibatkan 491 pegawai Kemenkeu dari 2009-2023. 

Pada dasarnya, menurut Suahasil, data yang disampaikan tersebut sama. Hanya pengklasifikasian datanya saja yang berbeda. Oleh karena itu tidak ada bukti pegawai Kemenkeu terkait dengan perusahaan cangkang.

“Menkeu menyampaikan di Komisi XI DPR, Pak Menko menyampaikan di Komisi III. Datanya itu klasifikasinya saja yang beda begitu klasifikasinya disetel sedikit jumlahnya sama,” kata Suahasil ditulis, Minggu, 2 April 2023.

Menurut Suahasil, dalam rekap data yang disampaikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebanyak 300 surat, namun yang disampaikan PPATK ke Kemenkeu hanya 200 surat. Sisanya, 100 surat diberikan kepada Aparatur Penegak Hukum (APH). 

Dari 200 surat itu berisikan 135 surat terkait korporasi dan pegawai Kemenkeu dengan nilai transaksi mencurigakan senilai Rp22 triliun. Laporan itu telah disampaikan oleh Menkeu pada saat Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI. Untuk transaksi keuangan mencurigakan sebesar Rp22 triliun, terdiri atas transaksi pegawai Kemenkeu Rp3,3 triliun dan Rp18,7 triliun terkait korporasi.

“Dari Rp22 triliun itu Rp18,7 triliun adalah korporasi dan Rp3,3 triliun yang memang transaksi pegawai. Kenapa (transaksi pegawai) ada di sini karena biasanya kita kalau mau bikin mutasi pegawai, promosi pegawai, panitia seleksi yang ada pegawai Kemenkeu-nya, pasti kita minta data clearance ke PPATK. Jadi Rp3,3 triliun ini transaksi debit kredit pegawai, ada transaksi resmi, jual beli harta, dan lainnya,” jelas Suahasil.

Untuk surat yang disampaikan PPATK ke APH sebanyak 64 surat dengan nilai Rp13,07 triliun. Dengan begitu jika dijumlahkan nilainya mencapai Rp35,54 triliun sesuai yang disampaikan Mahfud MD di Komisi III DPR RI. 

Untuk nilai transaksi mencurigakan di pegawai Kemenkeu sebesar Rp3,3 triliun merupakan akumulasi transaksi debit kredit pegawai termasuk penghasilan resmi, transaksi dengan keluarga, dan jual beli harta untuk kurun waktu 15 tahun dari periode 2009-2023 yang telah ditindaklanjuti.

Selain itu, dari nilai transaksi Rp3,3 triliun juga terdapat surat berkaitan dengan clearance pegawai yang digunakan dalam rangka mutasi promosi (fit & proper test).

Sementara itu, Rp18,7 triliun merupakan transaksi debit kredit operasional empat korporasi dan dua orang tidak terafiliasi dengan pegawai. Dari hasil penelusuran tidak ada perusahaan cangkang sebagaimana disampaikan oleh Kepala PPATK Ivan Yustiavandana.

Dari enam korporasi yang dicurigai melakukan kegiatan mencurigakan di bidang perkebunan, otomotif, dan penyedia jasa pertukaran data. Kemudian dua lainnya diduga berupaya menghindari pajak. Pemeriksaan pun merupakan permintaan Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenkeu atas dugaan penyimpangan pengadaan dan dugaan potensi gratifikasi.

“Jadi itu tidak ada perbedaan data kita kerja atas 300 rekap. Cara mengklasifikasikannya bisa kita lakukan berbagai macam cara karena kita konsisten. Bisa kita tunjukkan klasiifkasinya, tidak ada kita tutup-tutupi di sini,” ujarnya.

Gaduh atas transaksi mencurigakan senilai Rp349,87 triliun juga menarik perhatian Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Yusril Ihza Mahendra. Yusril menilai pernyataan yang disampaikan oleh Mahfud MD terkait transaksi mencurigakan justru tidak menguntungkan bagi Indonesia, karena diucapkan oleh seorang pejabat publik. Hal ini akan berdampak negatif kepada kepentingan nasional bangsa dan memengaruhi keputusan investasi.

“Omongan Pak Mahfud ini, akan membuat investor dalam negeri jadi mikir, gimana kita mau invest di Indonesia, nanti pajak ditilep atau harus sogok, bea cukai ditilep,” ujar Yusril.

Menurut Yusril, data yang disampaikan oleh Mahfud MD dari 2009-2023 tentu akan menimbulkan kehebohan. Padahal, laporan tersebut disampaikan setiap tahun ke Presiden, Menkeu, DPR, juga dalam RDP. Harusnya, pemerintah melihat ada kejahatan keuangan hasil analisis PPATK untuk segera dilakukan penyelidikan.

“Setiap tahun terima laporan, lakukan follow up, penyelidikan, penyelidikan. Jangan diakumulasi selama 14 tahun lalu kemudian secara bombastis diungkapkan kepada publik. Pasti akan menimbulkan kehebohan,” ujarnya.

Meski apa yang diungkapkan oleh Mahfud MD tidak menyebut nama orang dan hanya menyebutkan jumlah. Tapi dengan menyebutkan di departemen keuangan, yakni pajak dan bea cukai tentu akan berdampak luar biasa bagi negara. Berbeda jika yang disampaikan adalah narkoba atau terorisme.

“Ini dampaknya luar biasa bagi negara. Biasanya yang ngomong begini LSM bukan Menko Polhukam,” ujarnya. 

Menarik ke belakang, kata Yusril, ini adalah permainan intelijen yang dengan segaja membombastiskan korupsi di Indonesia. Lantas setelah itu akan membuat investasi lari ke negara lain.

Ia memberi contoh ketika bertemu Shinzo Abe yang saat itu masih menjadi sekretaris kabinet Jepang. Shinzo Abe bilang di parlemen Jepang ada dua kekuatan dalam hal investasi ke Asia. Ada yang pro investasi ke Indonesia, dan ada yang pro investasi ke Tiongkok. Namun isu korupsi selalu dihembuskan sehingga memengaruhi minta investor.

“Indonesia dikerjain terus dengan isu-isu korupsi untuk mengalihkan perhatian publik Jepang supaya investasi tidak ke Indonesia dan lari ke negara lain,” ujarnya.

Artikel Terkait

Terkini