Perbedaan data konsumsi dan produksi beras menjadi pertanyaan besar. Padahal, sinkronisasi data atas ketersediaan pangan ini sangat penting sebagai acuan untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Hal itu menjadi perhatian Pimpinan Komisi VI Fraksi Partai Demokrat DPR RI, Herman Khoiron. Bahkan kata Herman, kenaikan harga yang terjadi di saat pemerintah membuka keran impor beras ini sangat berkaitan dengan data. Pasalnya, kenaikan harga tentu akan berdampak pada inflasi.
“Kita mengenal rezim inflası sehingga harga-harga komoditas pokok dan strategis itu dibatasi oleh batasan inflasi. Jadi kalau (harga) naik seperti ada apa ini. Ini sebetulnya sangat terkait dengan data,” kata dia dalam acara It’s A Wonderful Day di Good Radio Jakarta, 94,3 FM, bertajuk Sudah Impor, Harga Beras Masih Tinggi, Mengapa?“, Rabu, 25 Januari 2023.
Menurut Herman, kondisi saat ini agak mengherankan karena pergerakan pasokan dan permintaan atau supply and demand komoditas, bukan mengacu pada pertumbuhan jumlah penduduk maupun produksi melainkan atas data Badan Pusat Statistik (BPS).
“Saya 8 tahun jadi pimpinan di Komisi IV dan sekarang saya juga di Komisi VI, setiap minggu mengevaluasi terhadap pergerakan harga. Agak aneh karena supply dan demand komoditas bergerak bukan karena pertumbuhan penduduk, kemudian pertumbuhan produksi. Tapi bergerak kemudian atas dasar perspektif data BPS tersebut,” ujar politikus Partai Demokrat ini.
Saat ini, konsumsi rata-rata beras per tahun sekitar 30 juta ton dengan produksi 33 juta ton. Sebelumnya konsumsi rata-rata per tahun antara 33-35 juta ton dengan produksi mencapai 38 juta ton. Ini berarti terjadi penurunan konsumsi rata-rata per tahun namun sayangnya penurunan tersebut tidak sebanding dengan jumlah produksi beras.
“Apa yang terjadi dengan data? Menurut saya itu penting karena (data) itu yang biasa dijadikan acuan dagang terhadap ketersediaan bahan pokok yang setiap hari dibeli dan dikonsumsi oleh masyarakat,” ujar dia.
Selain itu, adanya data dari Kementerian Pertanian yang selalu mengatakan surplus beras. Padahal, jika data beras di petani cukup maka Bulog bisa segera membelinya. Namun nyatanya Bulog mengimpor 500 ribu ton beras dan sampai akhir Februari 2023 akan masuk semua ke Indonesia.
Bila situasi seperti ini, maka data konsumsi dan produksi beras harus segera dibenahi agar tidak berdampak pada berbagai aspek. Sebab, bila data pasokan berlebih dan menjadi data resmi BPS, ini akan membahayakan ketersediaan dan keterjangkuan pangan baik dari sisi barang maupun harga.
“Kalau data tersebut tidak sesuai dan akhirnya impor padahal memang benar produksi lebih tinggi, ini akan menyusahkan para petani. Karena di sektor pertanian beras atau padilah seutuhnya diproduksi oleh para petani, swadaya petani,” jelas dia.
Pangan khususnya beras adalah hak azasi manusia. Pangan harus sampai ke tingkat individu secara cukup, beragam, dan bergizi seimbang. Hal ini sangat kontekstual dalam regulasi dan Undang-Undang (UU). Ini tanggung jawab pemerintah. Nah, pemerintah harus menjamin kepastian usaha petani.
Oleh karenanya beras impor yang akan masuk pada Februari sebanyak 500 ribu ton itu hanya akan menjadi stok Bulog untuk menstabilisasi harga jika melampaui harga psikologis. Bila kenaikannya belum melampaui harga psikologis, menurutnya, ini bisa menjadi semangat para petani.
“Pemerintah juga harus jemput bola, jangan dijemputnya oleh para tengkulak. Kalau dijemput oleh para tengkulak harganya tetap jatuh,” ujarnya.
Bulog sebagai BUMN hanya melaksanakan penugasan dari pemerintah. Oleh karenanya pemerintah harus merespons cepat dengan membeli gabah petani pada harga yang menarik. Kemudian digiling oleh Bulog. Ini perlu dilakukan untuk mengimbangi supply dan demand sehingga harga petani juga akan baik di pasaran.
“Nah kalau harga terlalu tinggi di pasaran baru dinormalisasi, distabilisasi oleh Bulog melalui beras-beras impor, itu semestinya. Jadi harga di tingkat petani cukup baik kemudian di tingkat konsumen juga tidak memberatkan masyarakat untuk membeli atau memenuhi kebutuhan pokoknya,” jelas dia.