Bupati Meranti berniat menggugat Presiden Jokowi. Dana bagi hasil migas jadi pemicunya. Siapa yang menikmati dana bagi hasil migas?

Koridor.co.id

Ilustrasi ladang minyak dan gas.

Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti (Meranti), Muhammad Adil geram kepada pemerintah pusat khususnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Sebab, dana bagi hasil (DBH) migas di daerahnya mengalami penurunan padahal produksi minyak cukup banyak. Adil pun berkeinginan untuk menggugat Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Hal tersebut disampaikan dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengelolaan Pendapatan dan Belanja Daerah se-Indonesia pada Kamis, 8 Desember 2022. Adil menjelaskan sejak 1973, Meranti memiliki 222 sumur minyak yang telah dibor. Pada 2022, jumlahnya bertambah 13 sumur. Lalu, pada 2023 ditargetkan akan bertambah 19 sumur lagi.

Produksi minyak dari hasil sumur tersebut diperkirakan akan menembus angka 9.000 barel per hari pada 2023. Namun ironisnya, tambahan sumur minyak tersebut tidak berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat setempat.

Hal itu tercermin dari dana bagi hasil di Provinsi Riau. Sebagai salah satu daerah penghasil minyak jumlah dana bagi hasil yang diberikan pemerintah pusat ke daerah tidaklah besar. Apalagi sejak konflik Rusia-Ukraina, harga minyak melonjak, tapi dana bagi hasil yang diperoleh Meranti malah menurun.

“Di daerah saya, DBH-nya bukan (naik) malah menurun. Minyak kami tambah banyak, bahkan hampir 8.000 barel per hari,” kata dia dikutip, Senin, 12 Desember 2022.

Adil membeberkan pada tahun ini saja dana bagi hasil dari pemerintah pusat ke daerahnya hanya Rp115 miliar, naik Rp700 juta. Padahal, lifting minyak saja naik dengan asumsi USD100 ribu per barel.

“Mengikuti nota pidato Pak Presiden Agustus lalu, 1 barel USD100 ribu. Waktu lewat zoom dengan Kemenkeu tidak bisa menyampaikan dengan terang. Setelah didesak-desak baru menyampaikan dengan terang soal USD100 ribu per barel,” jelas dia.

Di tengah rendahnya dana bagi hasil tersebut, pemerintahannya malah dibebani untuk membayar gaji pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K). Ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, tapi malah dibebankan ke pemerintah daerah.

Adil pun selalu berupaya mempertanyakan besaran dana bagi hasil yang diberikan pemerintah pusat ke daerahnya pada Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Bahkan Adil sudah tiga kali melayangkan surat permohonan audiensi untuk Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Namun upaya tersebut selalu gagal.

“Sampai ke Bandung saya kejar orang Kemenkeu juga tidak dihadiri yang kompeten. Yang hadir waktu itu staf tidak tahulah. Sampai waktu itu saya ngomong, ini orang keuangan isinya iblis atau setan,” tegas dia.

Adil mengungkapkan bahwa di Riau 25,68 persen masyarakatnya miskin plus ekstrem. Masyarakat termiskin dan paling banyak itu ada di Meranti. Untuk itu, bila produksi minyak meningkat tapi penghasilan besar turun, ia pun lebih mengharapkan agar dikeluarkan surat penghentian pengeboran minyak di Meranti.

“Kok teganya minyak diambil, duit kami tidak diberikan. Jangan diambil lagi minyak di Meranti. Tidak apa-apa, kami masih bisa makan daripada uang kami dihisap,” ujar Adil.

Karena masalah itu, ia sempat berencana menggugat Jokowi. “Saya kemarin dipanggil Pak Tito (Menteri Dalam Negeri), minta petunjuk selaku pembina saya, saya mau gugat Pak Jokowi,” kata dia

Merespons tudingan Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti, Staf Khusus Menteri Keuangan bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, dalam cuitan di sosial medianya, mengatakan data lifting minyak yang diproduksi Meranti justru menurun pada 2022.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), lifting minyak 2022 Meranti mengalami penurunan dari 2.489,71 ribu menjadi 1.970,17 ribu barel.

“Total alokasi DBH Kabupaten Kepulauan Meranti adalah Rp207,67 miliar (naik 4,84 persendari 2022) dengan DBH SDA Migas Rp115,08 miliar (turun 3,53 persen). Ini dikarenakan data lifting minyak 2022 dari Kemen ESDM menunjukkan penurunan dari 2.489,71 ribu menjadi 1.970,17 ribu barel setara minyak. Jadi basisnya resmi,” kata Yustinus di akun Twitter pribadinya @prastow, Minggu (11/12/2022).

Penurunan lifting minyak, kata Yustinus, berpengaruh terhadap alokasi dana bagi hasil migas untuk Meranti pada tahun 2023. Apalagi, dalam perhitungan Transfer ke Daerah (TKD) tahun 2023, khususnya dana bagi hasil migas untuk Meranti sudah dilaksanakan sesuai ketentuan UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Untuk itu, ia meminta pemerintah Meranti memikirkan terobosan agar lifting di wilayahnya bisa ditingkatkan. “Meskipun alokasi DBH migas turun, alokasi DAU (Dana Alokasi Umum) Kab. Kep. Meranti justru naik 3,67 persen menjadi Rp422,56 miliar,” jelasnya.

Yustinus juga menyinggung indikator kinerja pengelolaan anggaran dana transfer umum (DTU) terdiri atas dana alokasi umum dan dana bagi hasil yang masih lebih rendah dibandingkan daerah lain di Indonesia.

“Dalam rangka membantu masyarakat miskin dari dampak inflasi, Pemda wajib mengalokasikan 2 persen dari dana transfer umum untuk perlindungan sosial (perlinsos). Akan tetapi, per 9 Desember 2022, Meranti baru merealisasikan belanja wajib 9,76 persen, jauh dari rata-rata secara nasional yang mencapai 33,73 persen. Prihatin!” kata Yustinus.

Meranti juga menerima manfaat dari belanja pemerintah pusat melalui K/L di wilayahnya. Total belanja K/L tersebut sebesar Rp137,99 miliar pada 2019, Rp154,59 miliar pada 2020, Rp118,03 miliar pada 2021), dan Rp120,41 miliar pada 2022.

“Dari pengelolaan APBD, sejak 2016 rata-rata serapan belanja hanya 82,11 persen. Untuk 2022 baru terealisasi 62,49 persen saja per 9 Desember 2022. Rendahnya penyerapan menunjukkan bahwa Kab. Kep. Meranti belum optimal mengelola anggaran terutama dalam upaya menurunkan tingkat kemiskinan yang tinggi 25,68 persen,” jelas dia.

Yustinus Prastowo pun meminta Bupati Meranti untuk memperbaiki kinerja dalam pengelolaan anggaran yang masih rendah dan pembangunan di daerah Meranti untuk kesejahteraan masyarakat daerahnya.

“Kasihan publik dikecoh dengan sikap seolah heroik untuk rakyat. Faktanya ini manipulatif. Justru pusat terus bekerja dalam bingkai konstitusi dan NKRI. Mestinya kita tingkatkan koordinasi dan sinergi, bukan obral caci maki. Kami meradang lantaran etika publik menghilang!” kata Yustinus Prastowo.

Artikel Terkait

Terkini