
Kebijakan untuk menaikkan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DDR) dipandang perlu dilakukan lagi. Ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan agar bank sentral menaikkan suku bunga acuannya.
Pertama, inflasi masih jauh di atas kisaran target BI yaitu 5,95 persen secara tahunan atau year on year (yoy) pada Oktober 2022, setelah kenaikan harga BBM bersubsidi di awal September 2022.
Kedua, Rupiah terus terdepresiasi hingga Rp15,487 per dolar AS pada pertengahan November 2022. Ketiga, The Fed diperkirakan masih akan menaikkan suku bunganya pada bulan Desember 2022, meskipun pada tingkat kecepatan yang lebih lambat.
“Ketiga faktor ini menunjukkan bahwa BI masih perlu menaikkan suku bunga acuan sebesar 50bps bulan ini menjadi 5,25 persen dalam upaya mengelola ekspektasi inflasi dan menjaga kestabilan Rupiah,” kata Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Teuku Riefky, Rabu, 16 November 2022.
Tingkat inflasi saat ini telah berada di atas kisaran target bank sentral selama lima bulan. Karena itu, BI dinilai perlu untuk meningkatkan suku bunga sebesar 50 bps menjadi 5,25 persen bulan ini.
Selain untuk menjaga stabilitas Rupiah di era meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global dan apresiasi dolar AS, kenaikan suku bunga acuan juga untuk menjaga spread yang menarik dengan suku bunga AS.
Meski ada tekanan kenaikan harga dan kenaikan suku bunga pinjaman, ekonomi Indonesia tumbuh lebih tinggi dari perkiraan pada kuartal ketiga. Kondisi ini mungkinkan Bank Indonesia memiliki fleksibilitas untuk melanjutkan kebijakan pengetatan lebih jauh.
Pertumbuhan ekonomi yang kuat pada kuartal III-2022 ditopang oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga, memberikan justifikasi bagi BI untuk melanjutkan siklus pengetatan moneter.
“Peningkatan suku bunga kebijakan akan membantu membatasi jumlah arus modal
keluar, mencegah depresiasi Rupiah lebih lanjut, dan membatasi tekanan inflasi dari
barang-barang impor,” kata Teuku Riefky.