
Jakarta, Koridor.co.id – China mencatatkan impor lebih dari 5 juta ton bijih/konsentrat nikel dari Indonesia. Sebaliknya, dalam periode 2020-2022, Indonesia mencatatkan ekspor komoditas tersebut ke China zonk.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menemukan adanya dugaan ekspor bijih nikel 5 juta ton dari Indonesia ke China.
Hasil kajian tim riset Koridor.co.id menunjukkan dalam periode tersebut terdapat potensi adanya “dana siluman” dari perdagangan komoditas bijih/konsentrat nikel Indonesia dengan China. Nilainya mencapai nilai sekitar Rp4,4 triliun.
Perkiraan besarnya nilai “dana siluman” tersebut berasal dari pencocokkan data dari nilai catatan impor bijih/konsentrat nikel [HS 2604000] China dari Indonesia dan catatan ekspor Indonesia ke China. Basi datanya dari UN Comtrade dan Badan Pusat Statistik (BPS). Tim Riset Koridor.co.id menemukan adanya perbedaan pencatatan oleh pemerintah China dan Indonesia.
Dalam catatan UN Comtrade, jumlah impor komoditas bijih/konsentrat nikel [HS 2604000] China dari Indonesia dalam kurun waktu 2020 s.d 2022 mencapai 5,3 juta ton. Nilainya mencapai US$296 juta atau setara dengan Rp4,4 triliun (asumsi nilai tukar Rp15.000/US$).
Sementara itu, dalam catatan ekspor Indonesia ke China atas komoditas tersebut pada kurun yang sama hanya sebanyak 36 kg. Nilainya setara dengan US$42. Catatan ekspor bijih/konsentrat nikel [HS 2604000] Indonesia ke China itu hanya terjadi pada 2021. Adapun, pada 2020 dan 2022, nilainya nihil.
Laporan itu menjelaskan, salah satu metode untuk mengukur aliran dana gelap adalah pendekatan Trade Misinvoicing Model. Pendekatan ini mengurai fenomena suatu negara dengan sengaja mencatat nilai yang “tidak sebenarnya” dari nilai dan/atau volume ekspor atau impor barang yang terjadi.
Dana Siluman Dalam Ekspor-Impor
Konsep “Dana Siluman” dalam perdagangan internasional merupakan konsep yang diperkenalkan oleh Global Financial Integrity (GFI) pada akhir 2000-an. GFI merupakan lembaga think-tank asal Amerika Serikat yang fokus pada kajian terkait aliran keuangan gelap, korupsi, perdagangan gelap, dan pencucian uang. Lembaga tersebut pertama kali menerbitkan tulisan terkait konsep dan metode perhitungan Illicit Financial Flows pada 2008 yang bertajuk: “Illicit Financial Flows from Developing Countries: 2002-2006”.
Dalam laporan itu dijelaskan, salah satu metode paling banyak digunakan untuk mengukur aliran dana gelap adalah pendekatan Trade Misinvoicing Model. Pendekatan ini mengurai fenomena suatu negara dengan sengaja mencatat nilai yang “tidak sebenarnya” dari nilai dan atau volume ekspor atau impor barang yang dilakukan.
Under Invoicing
Dalam paktiknya, trade misinvoicing bisa berupa under invoicing ataupun over invoicing. Pebisnis atau individu melakukan under invoicing untuk menyembunyikan sebagian besar nilai faktur atau tagihan. Tujuannya untuk menghindari pembayaran pajak, mengurangi bea masuk, atau menyembunyikan pendapatan sebenarnya. Ini merupakan bentuk manipulasi harga dalam transaksi perdagangan internasional.
Dalam under invoicing, harga yang tercantum dalam faktur atau tagihan ekspor/impor barang atau jasa sengaja turun secara tidak proporsional atau hilang sebagian besar nilainya. Dengan begitu, mereka dapat mengecoh lembaga pemerintah yang bertanggung jawab atas pengumpulan pajak dan pengawasan perdagangan internasional. Termasuk, otoritas pajak dan bea cukai.
Tujuan utama dari under invoicing adalah untuk mengurangi kewajiban pajak dan bea masuk yang seharusnya terbayarkan. Selain itu, untuk mendapatkan keuntungan finansial tidak sah dengan cara memperoleh barang dengan harga yang lebih murah atau menghindari bea masuk yang lebih tinggi. Modus ini juga dapat untuk memindahkan uang secara ilegal antar negara atau untuk melakukan pencucian uang.
Over Invoicing
Di sisi lain, over invoicing dalam konteks aliran dana siluman merujuk pada praktik yang pelaku bisnis atau individu untuk menginflasi nilai faktur atau tagihan. Tujuannya juga untuk mendapatkan keuntungan finansial yang tidak sah.
Praktik ini bertentangan dengan prinsip-prinsip perdagangan yang adil. Praktik ini dapat menjadi modus untuk tujuan seperti pencucian uang, penghindaran pajak, atau pemindahan dana ilegal.
Dalam over invoicing, harga yang tercantum dalam faktur atau tagihan ekspor/impor barang atau jasa sengaja naik secara tidak proporsional atau melebihi nilai sebenarnya. Hal ini untuk menciptakan selisih antara nilai yang sebenarnya dan nilai yang tercantum dalam faktur.
Selisihnya dapat untuk mengalirkan dana tambahan secara ilegal. Atau, untuk menciptakan kelebihan pembayaran yang nantinya masuk kembali ke pelaku bisnis atau individu yang terlibat praktik ini.
Tujuan utama over invoicing adalah untuk mendapatkan keuntungan finansial yang tidak sah dengan cara memperoleh dana tambahan. Juga untuk menghindari pembayaran pajak yang seharusnya terbayarkan atau menyamarkan aliran dana ilegal.
Praktik over invoicing dapat merugikan perekonomian suatu negara dengan mengurangi pendapatan pemerintah dan mengganggu stabilitas perdagangan. Selain itu, juga menciptakan ketidakadilan dalam sistem perpajakan dan perdagangan internasional.
Baik praktik under invoicing maupun over invoicing dalam aliran dana siluman adalah bentuk manipulasi harga yang melanggar hukum dan memiliki dampak negatif. Pihak berwenang dan lembaga internasional harus berusaha untuk mengawasi dan mencegah kedua praktik tersebut melalui peraturan dan tindakan pencegahan yang ketat guna memastikan keadilan dalam perdagangan internasional dan untuk mencegah penyalahgunaan sistem keuangan global.
Paktik Siluman Ekspor Nikel Indonesia-China
Dalam enam tahun terakhir catatan perdagangan Indonesia-China untuk komoditas bijih/konsentrat nikel [HS 2604000], aliran dana siluman bukan hanya terjadi pada periode 2020-2022. Tiga tahun sebelumnya (2017-2019), fenomena aliran dana siluman juga terjadi.
Berbeda dengan kondisi tiga tahun terakhir, selama 2017-2019, perdagangan komoditas tersebut antara Indonesia-China menunjukkan kondisi over invoicing. Nilai catatan Ekspor Indonesia ke China, selalu lebih besar ketimbang catatan impor China dari Indonesia.
Sebagai contoh, pada 2019, BPS mencatat jumlah ekspor bijih/konsentrat nikel indonesia ke China mencapai 31,2 juta ton. Sementara itu, pada tahun yang sama, China hanya mencatat jumlah impor dari indonesia untuk komoditas tersebut sebanyak 23,9 juta ton. Artinya, ada selisih 7,3 juta ton antara pencatatan ekspor Indonesia ke China dengan catatan impor China dari Indonesia untuk komoditas Bijih/Konsentrat Nikel [HS 2604000].