Orasi Kebangsaan: Perjalanan, Tantangan, dan Harapan Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Koridor.co.id

Acara Orasi Kebangsaan: Perjalanan, Tantangan, dan Harapan Pemberantasan Korupsi di Indonesia, di Trinity Tower, Universitas Paramadina, Jakarta, Kamis (5/12). (Foto: Dokumentasi Institut Harkat Negeri)

 
Jakarta, Koridor.co.id –
Institut Harkat Negeri (IHN), Paramadina Public Policy Institute, dan Paramadina Graduate School menyelenggarakan Orasi Kebangsaan bertajuk “Perjalanan, Tantangan, dan Harapan Pemberantasan Korupsi di Indonesia” pada Kamis (5/12).

Berlangsung di Kampus Kuningan Universitas Paramadina, Trinity Tower, Jakarta Selatan, Orasi Kebangsaan membahas isu-isu strategis terkait korupsi, dampaknya terhadap bangsa, dan upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih bersih dan transparan.

Acara ini dihadiri berbagai tokoh, sejarawan, praktisi, akademisi, serta pegiat antikorupsi di antaranya: Prof. Didik J Rachbini, Ph.D, Sudirman Said, MBA, Prof. Fra Francisia Saveria Suka Ery Seda, Ph.D, Ahmad Khoirul Umam, Ph.D, Sukidi, Ph.D, Tony Saut Situmorang, M.M, dan Kevin Evans.

Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, Ph.D., dalam pidato pembukaannya menegaskan pentingnya peran kampus dalam memimpin gerakan antikorupsi.

“Dengan dukungan penuh, kami ingin menjadikan Universitas Paramadina sebagai kampus antikorupsi yang tidak hanya mengedepankan pendidikan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai keutuhan,” katanya.

Sementara itu Wijayanto Samirin, ekonom dan akademisi Universitas Paramadina, mengulas kompleksitas korelasi antara politik dan ekonomi dalam konteks demokrasi di Indonesia. Ia mengkritisi tingginya biaya demokrasi yang kerap membuka celah bagi praktik-praktik tidak transparan.

“Pilpres dan Pileg di Indonesia sering kali menjadi ajang money laundering terbesar, dengan dana besar yang tidak jelas asal-usulnya. Demokrasi yang mahal ini justru menciptakan ekonomi biaya tinggi hingga mencapai Rp140 triliun,” ujarnya.

Ia juga menyoroti dampak ekonomi dari pesta demokrasi yang sering kali bersifat jangka pendek.

“Kita senang digelontor dengan dana selama satu bulan, tetapi selama lima tahun ekonomi kita akan sulit. Selama satu bulan injak gas, selama lima tahun ada rem,” tambahnya.

Selain itu, Wijayanto menjelaskan bagaimana tingginya biaya politik membuka celah bagi investor untuk meminta timbal balik berupa kebijakan yang menguntungkan mereka.

“Sering kali di akhir-akhir ini banyak sekali hal aneh. Tiba-tiba ada PSN (proyek strategis nasional) ini, PSN itu. Tiba-tiba ada sektor tertentu yang dapat pajak 0 persen selama 20 tahun, padahal marginnya tebal,” jelasnya.

Sudirman Said saat berpidato dalam acara Orasi Kebangsaan Perjalanan, Tantangan, dan Harapan Pemberantasan Korupsi di Indonesia, di Trinity Tower, Universitas Paramadina, Jakarta, Kamis (5/12). (Foto: Dokumentasi IHN)

Ketua IHN, Sudirman Said, dalam orasinya menekankan pentingnya penguatan nilai-nilai moral dan etika dalam upaya pemberantasan korupsi yang telah lama menjadi tantangan besar bagi bangsa Indonesia. Korupsi dipandang sebagai penyakit menahun yang menempatkan Indonesia di kelas paria

Menurut pandangan Sudirman Said, pemberantasan korupsi membutuhkan peran aktif seluruh elemen masyarakat untuk membangun sistem yang bersih dan berkeadilan. Ia juga mendorong agar kearifan lokal dapat menjadi fondasi dalam menciptakan nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab sebagai upaya memerangi korupsi

Ia menjelaskan bahwa kesadaran ketuhanan dapat mencegah tindakan korupsi melalui nilai-nilai seperti kejujuran dan tanggung jawab.

“Kesadaran moral bukan karena takut dosa, melainkan karena Tuhan itu baik,” ujarnya.

Sudirman Said juga mengangkat nilai-nilai dari Serat Budhi Utama, sebuah karya Jawa abad ke-19, sebagai panduan moral dalam melawan korupsi. Dalam pandangannya, budaya berasal dari kata bud, yang berarti sadar, dan daya, yang merujuk pada kualitas ketuhanan.

Selain itu, ia mengkritik masyarakat yang semakin permisif terhadap kebohongan dan perilaku tidak etis. Ia berpendapat bahwa peradaban akan semakin terpuruk ketika kebenaran dianggap tabu.

Sudirman Said menekankan perlunya kas, yakni sikap militan atau spartan, dalam memerangi korupsi, yang melibatkan moral, aksi, dan sistem yang kokoh. Ia menegaskan bahwa perjuangan melawan korupsi harus dilakukan secara sistematis dan menyeluruh. 

“Kita harus menggali kembali kearifan lokal untuk membangun integritas dan tanggung jawab sebagai bangsa,” ungkapnya.

Mengutip pesan Panglima Besar Jenderal Sudirman di masa revolusi, ia mengingatkan untuk “jaga pekarangan masing-masing” sebagai upaya memperkuat gerakan antikorupsi. Dan ia optimistis, setiap zaman memiliki pemimpin yang mampu menjawab tantangan korupsi di lingkungannya.

Ahmad Khoirul Umam, Managing Director Paramadina Public Policy Institute, juga ikut berorasi. Senada dengan Sudirman Said, ia menyoroti pentingnya dukungan masyarakat sipil dalam mengawal reformasi.

“Isu antikorupsi membutuhkan keterlibatan sipil untuk mengawal kemajuan reformasi di berbagai sektor,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Kevin Evans, Direktur Indonesia untuk Australia-Indonesia Centre, menyoroti pentingnya pemberantasan korupsi sebagai upaya menjaga kepercayaan publik terhadap institusi negara.

“Korupsi bukan hanya sekedar kerugian ekonomi, tetapi juga merusak fondasi sosial dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi,” tegasnya.

Saut Situmorang, mantan pimpinan KPK, yang juga hadir dalam acara ini menyerukan peran aktif pemuda dalam memberantas korupsi. Ia menggunakan analogi “kandang ayam” untuk menggambarkan kondisi bangsa yang terjebak dalam korupsi sistemik.

“Bangsa ini seperti berada di kandang ayam. Tau dong kandang ayam yang kotor dan bau, tetapi kita tidak menyadarinya,” katanya.

Menurut Saut, pemuda harus berani menantang ketidakadilan dan berperan aktif dalam memastikan hukum ditegakkan secara adil.

“Pemuda memiliki tanggung jawab besar sebagai agen perubahan. Ya pastinya untuk membawa Indonesia keluar dari jebakan korupsi,” tuturnya.

Orasi Kebangsaan adalah ajang refleksi dan komitmen bersama seluruh elemen bangsa untuk memperkuat gerakan antikorupsi di Indonesia. Dengan kolaborasi antara akademisi, praktisi, dan masyarakat, upaya pemberantasan korupsi diharapkan dapat berjalan lebih efektif, untuk Indonesia yang jujur dan berkeadilan. (Ziki Zaelani)

Artikel Terkait

Terkini