Pengamat Pertahanan Evaluasi Gagasan Tiap Capres dalam Debat

Koridor.co.id

Raden Mokhamad Luthfi
Raden Mokhamad Luthfi

Jakarta, Koridor.co.id – Pada Minggu malam (7/1) publik Indonesia disuguhi debat para capres yang membahas mengenai pertahanan, keamanan, geopolitik, dan hubungan luar negeri di Istora Senayan, Jakarta.

Saling serang tak terhindarkan lagi dalam debat semalam. Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo saling adu gagasan dan kritik soal kebijakan pertahanan dan geopolitik Indonesia.

Raden Mokhamad Luthfi, pengamat Pertahanan dan Hubungan Internasional Universitas Al Azhar Indonesia memberikan pandangan mengenai masing-masing calon presiden dan visi yang dilontarkan ketiganya.

Anies Baswedan

Anies Baswedan tidak terlalu banyak berbicara mengenai isu kekuatan militer atau alutsista, kecuali mempertanyakan rencana pembelian alutsista bekas.

Padahal, oleh para pemerhati hubungan internasional dan pemerhati militer, penjelasan Anies soal blue water navy, otomatisasi dan supremasi udara, alutsista, transfer teknologi, pencapaian Minimum Essential Force (MEF), dan peperangan hibrida sangat ditunggu.

Hal-hal tersebut sebenarnya tercantum dalam dokumen visi-misi Anies dan Muhaimin dan banyak diapresiasi oleh pemerhati pertahanan.

Bagian ini menjadi hal yang kurang dan tidak imbang dijelaskan oleh paslon 01, bahkan terkesan ia tidak menguasai isu perangkat keras dalam pertahanan.

Hal yang bisa menarik pemilih adalah janjinya untuk meningkatkan anggaran pertahanan menjadi 1-1,5% dari PDB.

Di lain pihak Anies Baswedan juga perlu diapresiasi karena berkali-kali mengingatkan publik mengenai ancaman-ancaman keamanan yang datang ke obyek terkecil, yaitu keluarga (dan individu).

Statement 01 mengenai ancaman virus (pandemi), serangan siber, (human) trafficking, narkoba, dan judi online, terhadap keluarga merupakan isu keseharian yang sering kali luput atau diremehkan negara,” ujar Luthfi kepada Koridor pada Senin (8/1).

Padahal, imbuh Luthfi, ancaman-ancaman nontradisional yang disebut Anies, lebih sering terjadi dan tidak kalah penting dan sama-sama dapat membuat kerugian besar bagi negara, sebagaimana kerugian yang timbul akibat perang militer.

Anies juga tampak sangat memahami bagaimana Indonesia perlu dikembalikan sebagai pemain utama, penentu agenda dan arah dalam berbagai forum internasional.

Perlu diakui ini hal yang bagus, mengingat, kata Luthfi, Indonesia berulang kali mewarnai arah kebijakan internasional seperti dalam Dasasila Bandung, formulasi UNCLOS, Bogor Declaration, Jakarta Informal Meeting, Bali Democracy Forum.

Janji Anies ini akan sangat menarik bagi publik yang melek dan mengidamkan posisi besar Indonesia di mata dunia.

Hal ini juga didukung dengan kapasitas Anies dengan latar belakang pendidikannya yang memadai untuk membawa Indonesia dengan presidennya hadir dan mewarnai dalam berbagai forum regional dan internasional.

“Akan sangat ditunggu jadinya bagaimana Anies akan memperjuangkan agenda dan solusi bagi penjajahan terhadap Palestina oleh Israel saat ini,” jelasnya.

Anies juga sangat bagus dalam membawa isu soft power dengan menyatakan pentingnya kekuatan ekonomi dan budaya dengan contoh film dan seni serta pelibatan diaspora Indonesia di luar negeri untuk meningkatkan posisi Indonesia.

Investasi terhadap rumah kuliner dan memperkenalkan masakan Indonesia sehingga bernilai devisa dan menjadi kekuatan budaya, merupakan hal yang tidak diprioritaskan oleh pemerintahan sebelumnya.

Padahal, Korea dan Thailand telah mengambil banyak keuntungan dari langkah ini.

Namun, Luthfi tidak melihat debat semalam merupakan kemenangan Anies. Kurangnya penjelasan mengenai penguatan pertahanan dari sektor alutsista dan upaya modernisasi militer, malah membuat imej Anies yang tidak menguasai sektor pertahanan dan keamanan.

“Persoalan etika dan kegagalan Menhan Prabowo yang beberapa kali dieksplorasi oleh Anies, membawanya luput membahas isu penting lainnya: modernisasi militer Indonesia dan industri pertahanan sebagaimana yang ia bahas dalam visi dan misinya,” katanya.

Prabowo Subianto

Luthfi juga mengatakan debat semalam bukanlah milik Prabowo Subianto. Alih-alih menjadi isu yang ia kuasai dan menjelaskan berbagai kebijakan yang telah diambil, Prabowo justru terpantik menjadi lebih emosional.

“Paslon 02 terlihat menyampaikan hal-hal normatif dan menjadi hal biasa dalam politik luar negeri Indonesia seperti bebas-aktif, melanjutkan kebijakan non-blok, serta menjaga posisi Indonesia dalam rivalitas antara Tiongkok dan Amerika Serikat,” tukas Luthfi.

Ada hal yang mengingatkannya akan prinsip kebijakan luar negeri Indonesia era SBY saat Prabowo menyatakan thousand friend are too few, one enemy is too many dan good neighbour policy.

Dalam kenyataannya, terang Luthfi, justru kepentingan nasional yang harus selalu dikedepankan, bahkan jika terpaksa menjadi asertif terhadap tetangga dan negara sahabat.

“Misalnya saat menghadapi agresifitas China di Laut China Selatan, Skema pembiayaan KCIC yang membengkak, dan seterusnya,” imbuhnya.

Padahal, dalam pertanyaan sebelumnya, Prabowo jelas menyatakan akan memperjuangkan kepentingan nasional dan melindungi segenap bangsa Indonesia, yang telah mengalami adu domba dan pencurian kekayaan SDA beratus-ratus tahun sebelumnya.

“Saya menduga, prinsip kebijakan luar negeri yang soft yang diperlihatkan oleh 02, merupakan bagian dari upaya menghindarkan atribut citra terhadap Prabowo yang dikesankan tegas dan keras sebagaimana karakter individu berlatar belakang militer,” jelasnya.

Namun Luthfi mengatakan ada hal yang bisa diapresiasi kepada Prabowo adalah saat membuka empat fakultas baru di Universitas Pertahanan, yaitu STEM (science, technology, engineering, and mathematics).

Negara-negara maju dalam industri pertahanan dan alutsista memang memberikan investasi besar dalam empat bidang ilmu tadi.

Namun demikian, alih-alih membuka empat fakultas baru, Luthfi mempertanyakan mengapa Prabowo tidak menyinergikan kebutuhan pertahanan dengan kampus-kampus terkemuka yang sudah memiliki empat fakultas tadi?

Menurutnya, daripada membuka kampus baru dengan anggaran yang pasti tersedot mengapa Prabowo tidak memperbesar saja dana riset untuk pertahanan yang ia bisa gelontorkan kepada kampus terkemuka yang ditugaskan meneliti mengenai pengembangan drone, roket, rudal, radar, chip, material terbaru.

Selain itu, jelas Lutfhi, ada hal yang menjadi kesalahan Prabowo saat ia menjelaskan bahwa Gaza ditindas karena memiliki militer yang lemah.

Nampaknya, tutur Luthfi, Prabowo lupa bahwa Palestina belum sepenuhnya menjadi negara dan belum mampu memiliki militer nasional.

“Perlawanan terhadap Israel saat ini merupakan perlawanan oleh sayap-sayap militer organisasi di Palestina yang tidak memiliki kemampuan menjadi militer nasional karena status Palestina, berbagai embargo, dan blokade Israel terhadap Palestina,” jelasnya.

Ganjar Pranowo

Ganjar Pranowo tampil memukau dalam debat semalam. Di luar dugaan, kata Luthfi, Ganjar justru tampak memahami dan punya pengetahuan yang cukup luas pada isu-isu luar negeri dan pertahanan keamanan.

Perlu apresiasi kepada tim di belakang Ganjar yang telah memberi masukan dan pembaharuan isu kepadanya sehingga ia bisa tampil meyakinkan dan membawa data.

Terdapat beberapa pernyataan yang menarik dari Ganjar dan bisa menjadi bahan diskusi lebih lanjut. Misalnya saat Ganjar mau meredefinisi politik luar negeri bebas aktif.

“Menjadi pertanyaan apakah ia mau membawa Indonesia keluar dari posisi di ‘tengah’ dan jelas mendekat kepada salah satu major power? Ke mana Ganjar mau membawa Indonesia? Apakah mendekat kepada Tiongkok atau Amerika?” tanya Lutfhi.

Ia juga menyebut stagnasi keberlanjutan Code of Conduct dalam menyelesaikan konflik di Laut China Selatan.

Selain itu, kata Luthfi, ada hal menarik saat Ganjar menyatakan perlunya solusi kesepakatan sementara untuk LCS.

“Sayang, ia tidak elaborasi lebih lanjut untuk solusi ini,” jelas Luthfi.

Lalu, Sistem Pertahanan Rakyat Semesta (Sishanta), penataan ulang gelar pasukan karena ibukota baru (IKN), dan janji meningkatkan anggaran pertahanan 1-2% dari PDB merupakan indikator bagaimana Ganjar tampak lihai dalam mencoba menarik dukungan dari pemilih yang meminati isu pertahanan.

Namun, kata Lutfhi, ada beberapa catatan kritis untuk Ganjar. Di luar dari pengetahuan yang komprehensif mengenai isu pertahanan, Ganjar cenderung bombastis dan obral janji.

Salah satunya adalah saat ia menyebutkan mau menguasai teknologi hypersonic missile dan teknologi SAKTI (Perkasa dengan Keunggulan Teknologi 5.0).

“Gagasan tersebut tampak keren tapi sebenarnya kosong karena Indonesia belum menguasai banyak teknologi menuju teknologi hypersonic missile,” ungkap Luthfi.

Saat ini, kata Lutfhi, hanya China, Rusia, dan Amerika Serikat yang sudah memiliki teknologi ini. Indonesia saat ini belum memiliki teknologi yang mature untuk roket dan kendalinya, dan masih memfokuskan ke teknologi roket tanpa kendali.

Indonesia masih harus mengimpor berbagai rudal yang mempersenjatai kapal perang, pesawat tempur, dan anti serangan udara. Bahkan, saat ini banyak kebutuhan rudal di angkatan laut yang belum lengkap karena kekurangan anggaran.

Ganjar juga tidak menjelaskan apa itu SAKTI dengan teknologi 5.0.

Ini seperti mengulang trik Jokowi yang menjanjikan Industri 4.0 tetapi juga minim dalam eksekusi.

“Tidak bermaksud mengecilkan upaya Indonesia dalam mencapai teknologi maju, namun, seharusnya 03 fokus kepada bagaimana mengejar ketertinggalan teknologi alutsista dengan langkah yang lebih masuk akal,” terangnya.

Misalnya, pungkas Luthfi, memperbaharui dan melanjutkan konsep MEF menjadi Ideal atau Optimum Essential Force, langkah taktis meningkatkan anggaran pertahanan di saat yang sama tetap meningkatkan kesejahteraan negara secara umum. (Pizaro Gozali Idrus)

Artikel Terkait

Terkini