
Jakarta, Koridor.co.id – Gelombang pengungsi Rohingya terus berdatangan ke Indonesia. Polisi mencatat ada sekitar 1600-an pengungsi Rohingya yang tiba di perairan Aceh dalam beberapa bulan belakangan. Polisi juga mengklaim jaringan perdagangan orang (TPPO) dalam kasus Rohingya. Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan pemerintah akan menindak tegas para pelaku perdagangan manusia yang terlibat dalam gelombang kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh.
Pernyataan Jokowi menyusul maraknya narasi yang menggambarkan pengungsi Rohingya secara negatif di media sosial sehingga memicu antipati masyarakat terhadap kelompok minoritas Muslim yang jadi korban persekusi di Myanmar.
Sementara itu, masyarakat sipil mendesak pemerintah untuk menerima para pengungsi karena mereka merupakan korban genosida rezim junta militer Myanmar. Pemerintah tidak boleh mengusir pengungsi Rohingya karena bertentangan dengan Perpres Nomor 125 tahun 2016 yang mengamanatkan aparat untuk menyelamatkan pengungsi yang kesulitan di lautan. Bagaimana seharusnya masyarakat Indonesia menyikapi soal ini?
Koridor mewawancarai pengajar Hubungan Internasional Ramdhan Muhaimin yang concern terhadap problematika ini. Berikut petikannya.
Bagaimana Anda melihat respons pemerintah soal Rohingya?
Persoalan Rohingya ini memang cukup dilematis, terutama bagi pemerintah Indonesia. Antara persoalan ya mungkin ada juga aspek kedaulatan. Ada juga aspek kemanusiaan, ada juga aspek sosial agama. Pada satu sisi memang bangsa Rohingya ini bangsa yang stateless. Tidak punya kewarganegaraan, tidak diakui di tanahnya.
Memang idealnya pemerintah menampung, memberikan tempat dan kebutuhan, kemudahan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan di Indonesia. Meskipun kita tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi, tapi idealnya kita menampung. Namun permasalahannya tidak sampai di situ.
Mengapa banyak pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar, Bangladesh keluar?
Kita melihat bahwa di Cox’s Bazar, Bangladesh sendiri ada lebih dari 1 juta warga Rohingya yang ditampung oleh Bangladesh dan sudah sejak tahun 1990-an. Meskipun ditampung tetapi tidak ada perkembangan apa-apa, hanya diberikan lahan yang tidak menyuburkan, tidak memakmurkan buat mereka. Artinya ketika ada peluang mereka untuk keluar kemudian diiming-imingi untuk datang masuk ke tempat yang lebih menjanjikan misalnya seperti Indonesia, maka akan ada gelombang besar dari sana datang ke Indonesia.
Yang datang ke Indonesia jumlahnya tidak banyak, tapi kenapa pemerintah menolak?
Sebenarnya kalau misalnya yang datang Rohingya itu mungkin 100-200 orang, saya kira pemerintah kita bisa saja menampung, mungkin juga ada opsi Pulau Galang seperti buat pengungsi Vietnam. Tapi kalau kemudian yang datang itu sudah ribuan apalagi kemudian ditampung oleh pemerintah kita, kemudian kebaikan pemerintah kita itu didengar oleh orang-orang Rohingya yang ada di Cox’s Bazar, bukan tidak mungkin kemudian orang-orang di sana itu akhirnya tergiur juga untuk pindah keluar dari Bangladesh kemudian masuk ke Indonesia.
Kalau jumlahnya, ratusan ribu atau setengah saja dari sana itu pindah ke Indonesia, ini akan menjadi masalah baru bagi Indonesia. Masalah sosial, masalah ekonomi, dan seterusnya. Nah di sini letak dilematisnya tentang masalah Rohingya.
Apakah dengan menangkap pelaku TPPO, persoalan selesai?
Menurut saya, tidak sekedar pemerintah kemudian memutus mata rantai TPPO ini dan menangkap para pelakunya. Karena ada pelakunya ternyata dari Bangladesh dan Myanmar sendiri yang menjual belikan atau perdagangkan orang-orang Rohingya. Mereka diiming-imingi untuk datang ke Indonesia. Padahal di Indonesia tuh iya siapa penadahnya atau penerimanya itu tidak jelas.
Katakanlah misalnya pemerintah TNI AL berhasil menangkap pelaku-pelaku TPPO-nya tapi apakah kemudian kedatangan orang-orang itu akan berhenti? Tidak juga. Mungkin akan ada pelaku-pelaku lain yang melakukan tindakan yang sama. Karena ini potensi pasar gelap yang cukup menjanjikan. Karena masih ada satu juta orang di sana, sementara yang datang ke sini itu baru 1600an.
Nah menurut saya pemerintah tidak sebatas hanya kemudian menangkap pelaku TPPO karena permasalahan mereka tetap akan terus terjadi selama mereka statusnya stateless.
Langkah apa yang harus diambil pemerintah?
Langkah yang bisa diambil pemerintah kita adalah berkomunikasi dengan pihak-pihak yang berurusan secara tidak langsung ataupun secara langsung dengan Rohingya. Tentu saja dengan Myanmar ataupun juga dengan pemerintahan Bangladesh yang saat ini menampung orang-orang Rohingya di Cox’s Bazar karena orang-orang yang datang ke Aceh saat ini bukan orang-orang yang datang dari Myanmar tapi datang dari Cox’s Bazar. Ini menjadi permasalahan. Apakah kemudian di tempat penampungan sana sudah enggak nyaman buat mereka. Enggak menjanjikan, kemudian mencari tempat yang lain. Apakah bagaimana nanti perlu ada komunikasi, pemerintah kita sendiri perlu ambil langkah itu.
Kalau cuma ambil kebijakan reaksioner. Mengusir, membuntuti sampai keluar, diterima salah, tidak diterima salah. Terjadi perdebatan di masyarakat. Ditolak, mereka manusia. Tidak ditolak, kemudian ada potensi sosial ke depan.
Jadi poinnya adalah komunikasi ke Bangladesh?
Menurut saya, coba kita komunikasi. Nah ini yang datang ke kita ini adalah orang-orang Rohingya yang dari sana dan mereka menjadi korban TPPO. Nah jadi, menurut saya, pemerintah mungkin perlu untuk komunikasi ke sana, ke pemerintah Bangladesh. Kalau ke pemerintah Myanmar sudah buntu, kita enggak bisa memengaruhi Myanmar melalui Rusia atau melalui China, coba kita komunikasi dengan pemerintah Bangladesh di sana. (Pizaro Gozali Idrus)