Hilirisasi Industri sebagai Keharusan untuk Merebut Nilai Tambah

Koridor.co.id

Jakarta, Koridor.co.id – Penghiliran industri terbukti mampu memberikan nilai tambah dalam arti luas. Tantangan mewujudkannya terletak pada konsistensi menerapkan aturan dan peta jalan yang telah ada.

Tidak heran, Presiden Joko Widodo pun berpesan agar presiden selanjutnya melanjutkan kebijakan hilirisasi industri yang menjadi prioritas pemerintah saat ini. Pesan tersebut terlontar saat membuka Rapat Kerja Nasional XVIII Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Kamis (31/8/2023).

Presiden menegaskan Indonesia tidak boleh mundur meski kebijakan hilirisasi mendapat tentangan dari berbagai pihak.

Selama ini, pihak yang getol menghambat kebijakan hilirisasi Indonesia antara lain Uni Eropa. Mereka bermanuver melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan Dana Moneter Internasional (IMF).

Terkait dengan kebijakan hilirisasi tersebut, awal 2023 ini, pemerintah telah merampungkan peta jalan hilirisasi di Indonesia hingga 2040. Hilirisasi industri untuk 21 komoditas itu tidak hanya menyasar sektor pertambangan, tetapi juga pertanian, kehutanan dan kelautan. Hingga 17 tahun ke depan, investasi untuk hilirisasi industri diperkirakan mencapai US$545,3 miliar.

Hilirisasi industri merupakan proses meningkatkan nilai tambah komoditas dengan mengolah atau memurnikan bahan mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo berkali-kali menekankan bahwa hilirisasi merupakan kunci Indonesia untuk melompat dari negara berkembang menjadi negara maju.

Kebijakan hilirisasi industri akan memiliki efek domino bagi perekonomian. Komoditas yang telah diolah akan memiliki nilai tambah, menghasilkan devisa yang besar dari ekspor, menarik investasi lebih besar ke tanah air dan menambah jumlah serapan tenaga kerja. Karena itu pula, Jokowi bolak-balik menekankan harapan bahwa pemerintahan yang selanjutnya tetap mendorong hilirisasi industri berjalan.

Jalan Panjang Hilirisasi Industri

Program hilirisasi sedianya telah dilakukan sejak 2009 melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara atau yang lebih dikenal dengan nama UU Minerba.

Pasal 102 UU tersebut menyebutkan kewajiban pemegang izin usaha pertambangan untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan batu bara, serta kewajiban mengolah pengolahan dan memurnikan hasil penambangan di dalam negeri.

Sayangnya, kewajiban untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan batu bara ini belum benar-benar mengikat. Alhasil ekspor mineral mentah melonjak berkali-kali lipat. 

Sebagai gambaran, dalam kurun 2008-2013, ekspor bauksit meningkat dari 17 juta ton menjadi 57 juta ton. Ekspor bijih nikel tumbuh dari 11 juta ton menjadi 65 juta ton pada periode yang sama. Adapun ekspor bijih besi melesat dari 7 juta ton menjadi 22 juta ton.

Keterangan : Perkembangan ekspor beberapa bijih mineral antara sebelum dan sesudah penetapan UU Minerba

Kata “hilirisasi” sendiri tercantum pertama kali dalam regulasi pada 2011. Yakni, dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 128/Pmk.011/2011 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar. Peraturan tersebut menyebutkan. untuk mendukung hilirisasi industri sawit, perlu adanya restrukturisasi tarif bea keluar.

Hilirisasi pertambangan yang tersendat, membuat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan lantas menerbitkan sejumlah peraturan menteri untuk menekankan kewajiban peningkatan nilai tambah. Antara lain lewat Peraturan Menteri ESDM Nomor 5/2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri. Juga Peraturan Menteri ESDM Nomor 25/2018 tentang Pengusahaan Mineral dan Batu Bara.

Berdasarkan regulasi tersebut, pemerintah mengatur perdagangan komoditas mineral logam, seperti tembaga, nikel, bauksit, besi, timah, mangan, timbal, dan seng, emas, perak, kromium, zirkonium, dan antimon. Aturan itu juga mengatur komoditas nonlogam, seperti zirkon, kaolin, lempung, zeolit, bentonit, silika, kalsit, felspar, intan, dll.

Pelarangan Ekspor Minerba sebagai Upaya Dorong Hilirisasi

Peraturan Menteri ESDM Nomor 11/2019 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara, mengatur lebih dalam perihal penjualan bauksit dan nikel. Pasal 26, misalnya, penjualan bauksit ke luar negeri untuk komoditas dengan kadar pencucian (washed bauxite) Al2O3 >42%  dalam jumlah tertentu hanya boleh hinggal 11 Januari 2022.

Lalu, pada Pasal 62, penjualan nikel dengan kadar <1,7% hanya boleh sampai dengan jangka waktu paling lama 31 Desember 2019. Pada 1 Januari 2020, pemerintah telah melarang ekspor bijih nikel.

Larangan ekspor bijih nikel dan kewajiban ekspor nikel setengah jadi atau pun jadi terbukti meningkatkan nilai ekspor. Nilai ekspor nikel meningkat dari Rp17 triliun pada 2014 menjadi Rp326 triliun pada 2021.

Setelah nikel, sedianya pertengahan tahun ini pemerintah akan melarang ekspor bijih bauksit dan tembaga. Rencana ini sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 17/2020 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara mengatur penjualan hasil pengolahan sampai 10 Juni 2023.

Selain itu, revisi UU Minerba No. 3/2020 telah mengatur larangan ekspor bahan mentah tiga tahun setelah peraturan diundangkan. Belakangan, hanya ekspor bijih bauksit saja yang dilarang ekspor sejak 11 Juni 2023.

Relaksasi tembaga berlaku hingga pertengahan tahun depan karena pembangunan dua smelter untuk mengolah dan memurnikan tembaga baru selesai 50% dari target.

Sementara itu, untuk ekspor bijih bauksit, dari target pembangunan delapan smelter, separuhnya bahkan belum terlaksana. Komitmen yang tidak dijalankan ini membuat pemerintah berkukuh tetap menerapkan larangan ekspor bauksit dan mengenakan sanksi denda guna memberikan efek jera.

Aturan-aturan tersebut menunjukkan bahwa hilirisasi industri merupakan langkah yang dirintis sejak lama. Hanya, dalam lima tahun belakangan ini, pemerintah lebih menggencarkan hilirisasi.

Potensi Hilirisasi CPO

Indonesia merupakan negara penghasil minyak mentah kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) terbesar di dunia. Selama 2017-2021, Indonesia berkontribusi terhadap ketersediaan 57,3% komoditas CPO.

Di peringkat berikutnya ada Malaysia sebagai pemasok CPO 30.3% global. Gabungan Belanda, Guatemala, dan Kolombia hanya mampu menyediakan 5,8% dari pasokan global. Karena itu, Indonesia adalah kunci dari ketersediaan pasokan CPO global.

Penghasil CPO Dunia – Negara-negara utama penghasil CPO global

Bagi Indonesia, CPO menjadi komoditas bernilai dan berkontribusi besar terhadap total ekspor. Nilai ekspor CPO selama 22 tahun terakhir cenderung tumbuh positif.

Pada 1992, misalnya, nilai ekspor CPO dari Indonesia hanya US$356,5 juta. Tiga puluh tahun kemudian melonjak menjadi US$27,7 miliar. Lonjakan tertinggi ekspor CPO terjadi pada 2002 bersamaan dengan booming komoditas. Ekspor CPO melonjak 93,6% menjadi US$2 miliar.

Sementara itu, penyusutan terbesar ekspor CPO terjadi saat krisis moneter 1998. Penjualan CPO ke luar negeri susut hingga minus 48.5% menjadi US$745,3 juta. Pada 2009, ketika krisis keuangan global terjadi, ekspor CPO susut 16,2% menjadi US$10,3 miliar.  

Namun, pada saat pandemi Covid-19, nilai ekspor CPO justru meningkat. Pada 2020, ekspor tumbuh 18% menjadi US$17.3 miliar. Pada 2021, ekspor tumbuh 53.6% menjadi US$26,6 miliar. Dari sisi kontribusi CPO terhadap total ekspor, pertumbuhan pesat mulai terjadi pada 2002. Sepuluh tahun kemudian, kontribusi CPO terhadap total ekspor selalu lebih dari 8%.

Perkembangan nilai dan kontribusi ekspor CPO Indonesia

Naik turunnya ekspor CPO itu tidak terlepas dari pergerakan harga minyak sawit dunia. Pergerakan harga minyak sawit mentah baik CPO maupun minyak inti sawit (PKO) cenderung menghadapi volatilitas. Harga bisa naik dan turun dengan cepat.

Peluang Besar Hilirisasi Industri Minyak Kelapa Sawit

Pintu gerbang hilirisasi industri adalah mengolah CPO/PKO menjadi produk antara atau produk setengah jadi seperti olein, stearin, dan PFAD (palm fatty acid destillate). Produk antara dari industri kilang ini dapat diolah lagi menjadi produk-produk akhir.

Bila melihat data pohon industri kelapa sawit dari Kementerian Perindustrian, peluang hilirisasi industri minyak kelapa sawit masih cukup besar. Masih banyak produk-produk turunan dari minyak kelapa sawit yang belum ada.

Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) mengelompokkan hilirisasi minyak kelapa sawit di Indonesia dalam tiga jalur:

  • Hilirisasi oleopangan. Hilirisasi oleopangan adalah industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk antara oleopangan (intermediate oleofood) sampai pada produk jadi oleopangan (oleofood product). Berbagai produk hilir oleopangan yang telah dihasilkan di Indonesia antara lain minyak goreng sawit, margarin, vitamin A, Vitamin E, shortening, ice cream, creamer, dan cocoa butter/specialty-fat.
  • HIlirisasi oleokimia. Hilirisasi oleokimia adalah industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk-produk antara oleokimia/oleokimia dasar sampai pada produk jadi seperti produk biosurfaktan (ragam produk detergen, sabun, shampo), biolubrikan (biopelumas) dan biomaterial (bioplastik).
  • Hilirisasi bahan bakar nabati (biofuel). Hilirisasi biofuel yakni industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk-produk antara biofuel sampai pada produk jadi biofuel seperti biodiesel, biogas, biopremium, dan bioavtur.

Sumber: Kementerian Perindustrian

Nilai Tambah Produk-Produk Turunan CPO

Sejauh ini, hilirisasi industri CPO termasuk yang paling maju di antara 21 komoditas dalam peta jalan hilirisasi pemerintah hingga 2040. Hasil olahan CPO memiliki nilai tambah secara ekonomis. Hal itu bisa terlihat dari rata-rata harga ekspor komoditas turunan CPO Indonesia.

Dari 11 komoditas, asam kaprat, garam, dan esternya memiliki nilai tambah paling tinggi. Pada 2022, nilai tambahnya mencapai 5,4 kali lipat dari CPO. Saat rata-rata harga CPO US$1,3 ribu per ton, harga rata-rata asam kaprat, garam, dan esternya  mencapai US$6 ribu per ton.

Selanjutnya, ada asam kaprilat, garam, dan esternya dengan nilai tambah mencapai 3,6 kali lipat atau menjadi rata-rata US$4 ribu per ton.

Secara umum, rata-rata nilai tambah memang tidak selalu tetap. Seperti pada 2018, nilai tambah tertinggi justru asam kaprilat, garam, dan esternya.

Perbandingan harga ekspor komoditas CPO dan produk-produk turunan-nya.

Deindustrialisasi vs Hilirisasi

Selama 60 tahun terakhir, tampak perubahan komposisi empat sektor pembentuk produk domestik bruto (PDB). Pada periode 1960-1969, misalnya, sektor pertanian menopang sekirar 39,5% ekonomi Indonesia dan pertambangan memberikan andil 21,8%.

Namun, seiring waktu peran kedua sektor primer tersebut kian mengecil. Pada periode 2020-2022, misalnya, peran sektor pertanian terhadap PDB susut menjadi 13,1%, sedangkan sektor pertambangan susut menjadi 7,7%.

Untuk menjadi negara maju, sektor primer sebagai penopang PDB memang akan berkurang dan beralih ke sektor industri. Selama 1960-2009, Indonesia mengalami industrialisasi yaitu pertumbuhan besar di sektor industri manufaktur. Pertumbuhan industri pada dekade 1990-1999 mendorong proses industrialisasi di sektor hulu.

Komposisi penyusun PDB Indonesia berdasarkan kelompok sektor ekonomi menurut harga konstan (%)

Sayang, tren itu berakhir pada 2009. Pada dekade selanjutnya yang terlihat justru deindustrialisasi. Porsi industri manufaktur terhadap PDB mulai berkurang. Pada 2010-2019, komposisi PDB industri manufaktur turun menjadi hanya 22,2% dari dekade sebelumnya (2000-2009) yang tercatat 24,3%.

Sementara itu, komposisi PDB jasa meningkat signifikan. Untuk meningkatkan kontribusi PDB industri manufaktur, hilirisasi sudah selayaknya menjadi prioritas. Apalagi peta jalan hilirisasi industri telah rampung. Jangan sampai hilirisasi hanya sebatas jargon kampanye yang hanya jalan di atas kertas. (Ade Holis)

Artikel Terkait

Terkini