Perginya Sang Perekat (Catatan Kecil untuk Bang Ichan)

Koridor.co.id

Oleh: Adib Ahmadi

Jakarta, Koridor.co.id – Ada satu kemewahan ketika saya sempat bertemu dengan salah satu orang yang saya kagumi. Namanya Nurcholish Masjid, yang akrab dipanggil Cak Nur. Sebagai orang daerah (kampung), Cak Nur adalah ‘nama besar’. Kebesaran itu dalam pandangan saya terletak pada khazanah pengetahuan luas yang dimiliki dan keberaniannya menawarkan gagasan fundamental universal. Islam seperti bukan milik sebuah entitas. Ajaran Islam adalah sebuah pandangan dunia universal melampaui sekat-sekat kekelompokan.

Tapi kekaguman saya setelah bertemu pribadi dengan sosok satu ini, bukan lagi soal gagasan dan khasanah ilmu pengetahuan. Cak Nur besar karena dia adalah manusia biasa. Menjadi manusia biasa di saat membawa nama besar itu menurut saya luar biasa. Besar ‘nama’ umumnya ‘besar gaya’, ‘sadar posisi’ diketinggian dan bagaimana ia harus diperlakukan dan memperlakukan orang.

Cak Nur menurut saya tak begitu. Selama berinteraksi dengannya, saya mendapati ia adalah si lembut hati. Menerima siapa pun yang datang penuh kehangatan dan keramahan. Guru bangsa itu bicara penuh hormat pada siapa saja yang ada di hadapannya. Dan satu lagi, ia bersedia mendengar seksama, bahkan memberi penghargaan atas pandangan lawan bicara. Siapalah saya ketika itu, pernah merasa diperlakukan seperti itu dalam perbincangan panjang pada suatu kesempatan. Akhirnya yang tersisa dari Cak Nur dalam pandangan saya adalah seorang pendidik bersahaja dan orang tua bijak.

Dalam satu kesempatan, saya juga menemukan ‘orang besar’ lain. Ia adalah sahabat saya, senior sekaligus mentor yang beberapa waktu lalu telah pergi untuk selamanya. Namanya Ichan Loulembah. Seperti banyak yunior lain memanggilnya Bang Ichan. Serasa tak percaya. Kami di’tilap’. Masih segar di ingatan saya, kami bicara hangat berjam-jam bersamanya awal bulan lalu. Masih melekat kuat di ingatan saya senyumnya, caranya ia duduk mendengarkan, cara dia bertanya setiap ketemu, dan caranya dia bicara memberi perspektif tanpa memaksakan pikirannya.

Bang Ichan telah malang melintang hidupnya. Pengetahuan dan pengalamannya kaya. Koleganya banyak. Seperti Cak Nur, menurut saya Bang Ichan memilih jalan sebagai manusia biasa. Ia menurut saya si ‘perajut’ (potensi) manusia yang sangat rendah hati. Bang Ichan juga seorang perawat persahabatan. Koneksinya luas dan itu tidak untuk dimilikinya sendiri. Ia ringan mengajak orang lain atau yuniornya menghubungkan pada mereka yang sukses dibidangnya. Ia seperti ingin orang lain sukses dengan mengkoneksikan pada para pihak yang kompeten di dalam jaringan persahabatanya.

Seperti Cak Nur, yang mungkin juga mentornya, Bang Ichan punya ‘laku’ yang kurang lebih sama. Semua yang datang padanya, akan mendapatkan suasana kehangatan persahabatan. Bahkan saya yang junior jauh di bawahnya, diterimanya dengan rasa hormat dan penuh penghargaan. Di hadapannya saya dibuat ‘ada’ dan punya harga. Setiap ketemu dengannya saya selalu ditanya kabar, dan berlanjut ditanya kegiatan dan termasuk ide-ide yang lagi ada di kepala. Ia dengan sabar mendengar cerita, yang mungkin saja dari pengalamannya, itu tak mutu. Tapi itulah dia, seorang senior yang baik dan memiliki kejembaran hati untuk menampung pikiran dan cerita orang lain.

Dengan wawasannya yang luas, saya sempat mendapatkan cipratan ilmunya seperti pengalaman politiknya, ide desentralisasi, pikiran demokrasi parlementer dan masih banyak lagi pikiran-pikiran lepasnya. Tapi ada satu hal yang mungkin jarang terungkap dari pemikirannya adalah tentang ‘tesisnya’ anak guru.

Dalam satu kesempatan, lewat obrolan tengah malam, dia bilang kalau umumnya anak guru itu berhasil. Guru (utamanya guru tempo dulu), seperti punya cara sendiri dalam mendidik anaknya sehingga berhasil menjadi ‘orang’. Dia menyebut sosok tertentu dan di antaranya adalah kolega dekatnya sebagai contoh.

Terlepas dari itu semua, saat ini siapa pun yang pernah bertemu dan apalagi berinteraksi secara dekat dengan Bang Ichan, akan turut merasa kehilangan. Kehilangan sosok ceria yang selalu menebar harapan, kehilangan sosok sahabat yang hangat dan rendah hati, sosok penghubung lintas kelompok (profesi, organisasi, politik, pemikiran) dan sosok pendidik yang menginspirasi.

Lewat catatan kecil ini, saya sampaikan padamu Bang Ichan, terimalah rasa kehilangan saya. Terimalah rasa hormat, cinta dan penghormatan saya yang mungkin belum sepadan. Terimalah rasa terima kasih saya atas bimbinganmu yang mungkin tak pernah kau maksudkan untuk itu.

Selamat Jalan, Bang… saya bersaksi atas kebaikanmu. Doaku, semoga engkau mendapat tempat terbaik bersama Sang Kekasih Abadi.

*** Adib Ahmadi adalah junior dari mendiang M Ichsan Loulembah di Institut Harkat Negeri.

Artikel Terkait

Terkini