
Jakarta, Koridor.co.id – Harga beras eceran di Indonesia lebih mahal hampir dua kali lipat daripada harga beras internasional.
Demikian hasil penelusuran Tim Riset Koridor.co.id yang membandingkan bahan pangan pokok itu di Indonesia dengan harga komoditas tersebut di empat negara pemasok. Dari kacamata perdagangan, selisih harga yang cukup tinggi itu menjanjikan potensi keuntungan besar bagi para importir.
Sebelumnya, pemerintah telah mengalokasikan kuota impor beras sebanyak 2 juta ton untuk periode 2023 kepada Perum Bulog. Rencananya, impor tersebut sebagian besar akan berasal dari India. Bahkan, santer terdengar kabar yang menyebutkan bahwa akan ada tambahan kuota impor sebanyak satu juta ton. Tambahan kuota impor itu dalam rangka mengantisipasi krisis pangan akibat El Nino.
Untuk membandingkan, Tim Riset Koridor.co.id menggunakan data dari publikasi World Bank Commodities Price Data (The Pink Sheet), data BPS, dan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional. Rata-rata, dalam enam tahun terakhir harga beras eceran di Indonesia hampir mencapai dua kali lipat daripada harga di pasar internasional.
Selama 2022, misalnya, rata-rata harga beras eceran di Indonesia mencapai Rp11,928,- per kilogram (kg). Coba bandingkan dengan harga komoditas pangan tersebut di Thailand yang per kilogramnya US$0,437. Atau harga di India yang US$0,435 per kg, Pakistan yang US$0,425 per kg, dan Vietnam yang US$0,405 per kg.
Jika kita rupiahkan dengan nilai tukar Rp14.855 per US$, tampaklah harga bahan makanan pokok itu di Indonesia hampir dua kali lipat lebih mahal daripada di keempat negara tersebut. Dalam hitungan rupiah, harga bahan nasi itu di Thailand senilai Rp6,491 per kg, India Rp6,436 per kg, Pakistan Rp6,308 per kg, dan Vietnam Rp6,014 per kg.
Peluang dapat Harga Murah
Harga beras di negara-negara sumber pasokan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia itu berkejaran. Negara-negara pemasok terus bersaing untuk menawarkan harga yang terendah. Tidak heran, negara yang menduduki posisi penawar harga terendah berubah-ubah.
Kondisi tersebut dapat menjadi peluang bagi para pengusaha atau importir. Mereka dapat berburu suplier yang memberikan harga terendah. Dengan begitu, mereka berpeluang meraih untung lebih besar.