
Jakarta, Koridor.co.id – Gonjang-ganjing di Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan merambah ke banyak kasus baru. Diawali dari temuan kekayaan Pejabat Eselon III dengan harta Rp56 miliar, yang belakangan ada tambahan uang tunai puluhan miliar di kotak deposit. Kisahnya berlanjut pada dugaan pencucian uang di seputar Kementerian Keuangan.
Tak Tanggung-tanggung, yang mengungkap adalah Menko Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD, yang sekaligus Ketua Tim Pengendalian Tindak Pidana Pencucian Uang. Nilai transaksi mencurigakan itu mencapai Rp300 triliun.
Kasus dugaan pencucian uang ini satu hal. Tapi soal di kantor Ditjen Pajak ini patut ditelusuri ke akar-akarnya, mengingat kinerja penerimaan pajak tentu saja bukan sekadar nominal yang terkumpul. Kalau sekadar nominal yang jadi indikator, Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat puja-puji kinerja penerimaan pajak.
“Jadi kita lihat, memang kinerja penerimaan negara pajak, bea dan cukai, dan PNBP sungguh luar biasa dua tahun berturut-turut,” ujarnya saat konferensi pers Realisasi APBN 2022 di awal tahun.
Padahal, sebagai indikator penting dalam perekonomian negara, kinerja pajak dapat dilihat dari rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau kerap disebut sebagai tax ratio. Dalam 20 tahun terakhir (2004-2023), yang tertinggi hanya 12,5%, yaitu pada 2008. Setelah itu selalu di bawah 12 persen.
Sejatinya, ketika ekonomi tumbuh, maka penerimaan perpajakan juga berpeluang tumbuh beriringan. Minimal, rasionya tetap terjaga. Namun yang terjadi sebaliknya. Pada 2021, tax ratio hanya 9,1 persen atau 10,4 persen di 2022.

Sumber: Kementerian Keuangan, BPS (diolah)
Pencapaian tax ratio Indonesia jauh di bawah rata-rata negara di dunia. Pada 2020, nilainya mencapai 13,5 persen, sedangkan Indonesia hanya 8,3%. Dari 122 negara yang datanya terdapat di laporan World Development Indicators (WDI), World Bank, Indonesia menempati urutan ke 9 terbuncit. Posisinya lebih baik dari negara Somalia, Uni Emirat Arab, Ethiopia, Micronesia, Banglades, Srilangka, Guinea dan China.
Bahkan dibandingkan empat negara tetangga di Asia Tenggara, rasio penerimaan pajak terhadap PDB Indonesia ada di urutan buncit. Jauh di bawah Malaysia, Filipina, Singapura, apalagi Thailand.

Rendahnya penerimaan pajak ini memang bisa disebabkan banyak hal. Warga atau perusahaan di Indonesia malas bayar pajak, atau bisa juga kemampuan pemerintah menarik pajak yang rendah. Tentu bukan tak mungkin pula hasil kolaborasi keduanya: masyarakat (individu atau perusahaan) ingin mengemplang, sementara aparat pajak memfasilitasi. Misalnya, “negosiasi di tengah jalan”.
Jika itu terjadi, artinya jatah pemerintah dari penerimaan pajak berpotensi tercecer di tengah jalan. Akibatnya, biaya kegiatan ekonomi mengikis dari seharusnya.
Tampaknya, inilah soal yang sedang ditelisik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sinyal itu disampaikan oleh Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan. Katanya, KPK bakal mendalami 134 profil pegawai Ditjen Pajak yang memiliki saham di 280 perusahaan. “Yang kita cari yang konsultan pajak, karena itu yang pasti berkaitan. Itu yang kita cari. Mungkin sudah ada 2,” ujarnya, Kamis (9/3/2023).
Penelusuran ini menjadi sangat penting, mengingat kinerja tax ratio makin loyo. Akibat makin rendahnya rasio penerimaan pajak itu, pemerintah harus menimbun utang untuk membiayai program. Subsidi yang dianggap beban pun terus dipangkas. (Ade Holis)